Senin, 26 Oktober 2009

Nilai Plus Sosiologi


Dari segelintir temen-temen mahasiswa mungkin menyayangkan kenapa mereka bisa terdampar di jurusan yang masih asing di telinga kita. bagi mereka sosiologi merupakan sebuah program studi yang kurang bonavit. tapi tidak bagi saya..... kenapa ?!?!!??
program dengan basic ilmu sosial yang selalu identik dengan sikap santai and ogah-ogahan ternyata punya nilai plus tersendiri lho... nggak semua orang bisa merangkai kata dengan indah, berdebat and berdiskusi layaknya tokoh negara. semua itu didapat di sosiologi, so jangan memandang sebelah mata terhadap progaram studi yang menurut saya punya masa depan yang terang benderang bagai bintang kejora. selama 3 tahun saya menuntut ilmu di sosiologi banyak sekali pengalaman dan ilmu yang didapat saya mungkin tidak semua orang bisa mendapatkan itu semua. dekat dan menjadi bagian dari masyarakat merupakan input yang kita dapat sini.
bisa dibayangin aja zaman sekarang nich bursa kerja pada memburu lulusan dari sarjana sosiologi.sesuatu yang hanya dilirik sebelah mata menjadi penting dan berharga bak berlian dalam lumpur. udah nggak jaman sekarang menentukan jurusan hanya tergantung pada kuantitas bukan pada kualitas. udah nggak jaman kita iut-ikut kelas bonafit yang lulusannya tidak menjamin. bukan menghina tapi sekarang kita harus lebih berpikir tentang masa depan. eman-eman bro kuliah 4 tahun kalo nggak bisa mengahasilkan, yang ada malah menghabiskan uang ortu. kalo rejeki sich eman udah ada yang ngatur, keberuntungan emang menjadi peluang masing-masing individu, tapi kalau kita pandai dalam memperhitungkan kenapa nggak??!!!!

by : Diska Ariesta Fajriani
Sosiologi angkatan 2006 - unijoyo

Senin, 12 Oktober 2009

MK Sos 09


Alhamdulilah kemaren pada tanggal 3-4 Oktober 2009. Program studi sosiologi telah menyelenggarakan malam keakraban di pantai Slopeng Sumenep. Dengan harapan semua pihak (Peserta dan panitia) mendapatkan manfaat dan hasil yang setimpal dengan usaha persiapan sebelumnya.
Terima kasih kepada seluruh mahasiswa baru Sosiologi angkatan 2009 yang telah bersedia mengikuti acara malam keakraban tersebut, dan juga terima kasih kepada panitia yang telah menyiapkan acara ni dengan sedemikian rupa indahnya.,,

Dan kepada Bpk. Priyono Tri Febrianto, selaku ketua program studi Sosiologi, saya sampaikan banyak-banyak terima kasih karena telah meluangkan waktunya untuk membuka dan memberangkatkan peserta dan panitia Malam Keakraban tersebut....

Salam Semangat dan Selamat berjuang
HIMA-Sosiologi

Sabtu, 28 Maret 2009

KAJIAN PEMBANGUNAN SEBAGAI PENGEMBANGAN SUBDISIPLIN ANTROPOLOGI TERAPAN®

Syaiful Arif ®

Konsep Pembangunan secara teoritis dibangun dari pandangan teori Modernisasi pada era tahun 1950-an. Pada masa itu, banyak negara jajahan telah merdeka dari cengkeraman kolonialisme, terutama pasca Perang Dunia II. Setelah itu, kekuatan dunia di dominasi oleh dua kekuatan blok yaitu Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat, dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Sovyet. Blok Barat mewakili sejumlah negara yang concern dengan pembangunan untuk memajukan manusia melalui perkembangan materialisme/pembangunan ekonomi. Pembangunan yang berlangsung pada periode awal adalah pembangunan berdasarkan pandangan Barat, karena teori dan model pembangunan berakar pada sejarah ekonomi Barat (Hette, 2001: 64). Sementara, kekuatan Blok Timur terletak kepada usaha menanamkan ideologi sosialis-komunis ke dalam pembangunan. Paradigma Leninisme menjadi sentral bagi peradaban pembangunan yang dibentuk oleh kekuatan blok Timur ini. Dengan demikian, periode awal pembangunan negara-negara post-kolonial merupakan kontestasi antara kekuatan ideologi pembangunan modernisme dan kekuatan ideologi pembangunan sosialis-komunisme.

Oleh karena pembangunan dan kebudayaan sangat erat terkait dan berhubungan satu sama lain, maka terdapat suatu konsep yang cukup berhembus semilir semenjak lama yaitu pembangunan berwawasan budaya. Di dalam pengertian ini, pelaku pembangunan diingatkan untuk tidak melepaskan diri dari konteks kebudayaan untuk merancang, melaksanakan dan menghasilkan tindak pembangunan. Syahrizal memberikan pengertian tentang konsep pembangunan berwawasan budaya ke dalam dua pengertian. (1) Pembangunan berwawasan budaya adalah pembangunan yang tidak menghilangkan nilai-nilai budaya dan tetap mementingkan wujud-wujud budaya didalam setiap aspek yang dibangun di dalam masyarakat. (2) Pembangunan berwawasan budaya adalah pembangunan yang dilaksanakan tidak bertentangan dengan kebudayaan, karena kalau terjadi pertentangan, maka pembangunan akan merugikan masyarakat. Hal ini berarti, pembangunan tersebut dianggap gagal. Dengan demikian, secara normatif, pembangunan mestinya berpijak kepada ide dan kebutuhan masyarakat. Colleta mendefinisikan pembangunan lebih moderat dan umum, yakni sebagai suatu proses perubahan yang “positif“ dalam meningkatkan kualitas dan tingkat keberadaan manusia. Juga diartikan bahwa, pembangunan pada hakekatnya merupakan proses perubahan sosio-ekonomis yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup, kualitas dan martabat manusia (1987: 4-5). Pengertian Colleta ini memberi ingatan kepada kita semua bahwa materi dan tujuan dasar pembangunan adalah kualitas dan martabat manusia.

Untuk memantapkan concern kajian pembangunan, antropologi menempatkan diri melalui pengembangan suatu subdisiplin, yaitu antropologi terapan. bahwa antropologi terapan memanfaatkan disiplin antropologi di luar batas-batas disiplin akademis yang umum untuk memecahkan problem-problem praktis di dalam pembangunan, melalui penyediaan informasi, penciptaan kebijakan atau langsung melakukan suatu aksi (practicing anthropology). Antropologi selain menganalisa fenomena pembangunan, juga langsung praktek menerapkan ilmu di bidang-bidang tertentu pembangunan seperti kesehatan, pendidikan, pembinaan masyarakat dan lain-lain. Dalam konteks ini, antropologi dapat berperan penting dalam pembangunan melalui penelitian terapan dan intervensi. Melalui dua metode ini, antropologi dapat menolong menginformasikan proses pembangunan bagi pemerintah dan juga masyarakat, khususnya dalam aspek kebijakan, dan mengevaluasi dampak atau keputusan suatu kebijakan, dan menjembatani antara pola pikir pemerintah dan budaya masyarakat lokal.

Akhirnya, antropologi terapan berorientasi menggunakan data yang dikumpulkan dari subdisiplin antropologi lainnya, untuk menawarkan solusi praktis bagi masalah-masalah dalam masyarakat akibat proses pembangunan. Tulisan Nursyirwan Effendi tentang suatu fenomena tentang aktivitas masyarakat untuk membangun dan mengembangkan diri yang tidak termasuk di dalam kerangka rancangan pembangunan formal atau kerangka pembangunan yang diciptakan oleh pemerintah. Pembangunan di tengah masyarakat tidak berarti adalah hasil dari kebijakan, tetapi juga di luar kebijakan yang dibuat dan diimplementasikan. Pembangunan juga berarti pelaksanaan perubahan masyarakat melalui usaha mandiri dan tidak ada kaitannya dengan pembangunan yang dirancang oleh pemerintah. Fenomena tentang terdapatnya sejumlah kelompok masyarakat yang secara mandiri mengubah standar, pola hidup dan menciptakan peluang kesejahteraan di luar konteks perjalan pembangunan secara formal, atau mereka membangun diri secara independen dari peran dan campur tangan pemerintah disebut pembangunan setempat atau “on-the-ground development“. Pada konteks ini, antropologi concern dengan fenomena kemasyarakatan yang berkontribusi kepada wacana pembangunan.

Study Case

1. Terjadinya krisis moneter yang menimpa indonesia dan menjalar pada aspek kehidupan lainnya seperti sosial, budaya dan politik sehingga memicu terjadinya krisis multi dimensional yang berkepanjangan dapat diminamilisir dengan upaya menggerakkan sektor lain. Cerita sukses pada krisis ekonomi tersebut dilakukan melalui aktifitas ekonomi pasar loak ataupun gerakan ekonomi sektor informal lainnya. Melalui pasar Loak misalnya, ditemukan rekontruksi sosial masyarakat lokal yang mengarah kepada kelompok sosial ekonomi menengah ke bawah yang mengkomsumsi barang-barang kelas dua yang diperjualbelikan oleh pedagang loak.

2. Implikasi Undang-undang perkawinan terhadap keluarga dan wanita yang menunjukkan bahwa adanya perbedaan peran yang kaku antara laki-laki dan wanita dalam keluarga sehingga menjadikan wanita tidak berdaya dari segi ekonomi dan wanita selalu tergantung pada laki-laki (suami). Disamping itu ketidakberdayaan wanita secara ekonomi ini seringkali dimanfaatkan oleh laki-laki untuk melakukan poligami. Kasus-kasus perceraian yang terjadi kebanyakan adalah karena adanya orang ketiga dan masalah ekonomi. Sementara itu prosedur yang berbelit-belit dan cenderung memihak laki-laki seringkali menyebabkan wanita enggan mengurus perceraiannya di pengadilan, sehingga banyak terjadi cerai di bawah tangan. Akibatnya wanita yang diceraikan tidak mendapat santunan dan secara hukum tidak jelas statusnya, sedangkan laki-laki dengan mudah akan kawin lagi. Dengan demikian meskipun berdasarkan syarat-syarat yang diberlakukan sulit untuk kawin lagi bagi laki-laki tetapi dengan mudahnya cerai di bawah tangan laki-laki lebih untuk berpoligami secara tidak sah.

3. Hasil penelitian lapangan Edi Indrizal yang dilakukan di sebuah perkampungan tradisional Minangkabau yakni di Balairong Bunta di Kenagarian Rao Rao Kabupaten Tanah Datar Propinsi Sumatera Barat mengenai kerentanan struktural laki-laki lansia dalam masyarakat matrilineal Minangkabau. Topik Antropologi tentang kerentanan orang lanjut usia (lansia), dimana laki-laki lansia lebih jarang dibicarakan dibandingkan perempuan lansia. Hal ini karena laki-laki lansia biasanya dipandang dalam posisi lebih beruntung, lebih kuat, lebih berkuasa, mempunyai harta, memegang hak waris yang lebih besar, memiliki tabungan, memiliki akses ekonomi lebih baik dan sebagainya, sehingga sering dianggap kurang rentan dibandingkan perempuan lansia. Kerentanan laki-laki di usia tuanya cenderung sering dijelaskan menurut kerangka asumsi pendekatan individual atau dengan menggunakan perspektif mentalitas dan representasi budaya yang lebih menekankan analisisnya terhadap saling hubungan antara situasi kerentanan laki-laki lansia dengan pola pencitraan (image), sistem norma dan dominasi ideologi patriarki di dalam masyarakat. Kerentanan laki-laki lansia selalu dihubungkan dengan perubahan status, kedudukan dan sumber-sumber kekuasaan yang berkurang secara drastis yang dialaminya sehingga laki-laki lansia menghadapi suatu situasi yang dinamakan post power syndrom.

4. Pemahaman mengenai tindakan pelecehan dan kekerasan yang dialami oleh pihak perempuan. Perempuan mengalami pelecehan seksual dalam berbagai bentuk, mulai dari penilaian seksi dan kontak fisik (patting dan brushing) sampai pada ajakan yang terang-terangan untuk kesenangan seksual dan pemaksaan untuk berhubungan seks. Banyak alasan yang menyebabkan laki-laki melakukan intimidasi kepada kaum perempuan, di antaranya sebagai alat kontrol terhadap pasangan, laki-laki merasa terancam kedudukannya oleh kaum perempuan terutma di tempat kerja, dan kelainan jiwa yang disebabkan trauma semasa kecil. Selain itu, korban pelecehan dan kekerasan sering menyembunyikan apa yang mereka alami, terutama dari orang tua, suami, anak-anak, dan juga dari masyarakat. Mereka takut orang di luar situasi tersebut menganggap bahwa perilaku tertentu mereka justru merupakan stimulus bagi timbulnya pelecehan dan kekerasan yang mereka alami.

5. Gambaran tentang pengkajian Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang saat ini menjadi perhatian serius pemerintah daerah Sumatera Barat di kepulauan Mentawai untuk meningkatkan harkat dan martabat masyarakat lokal sesuai dengan amanat undang-undang dan tujuan negara Indonesia. Namun dikarenakan berbagai kendala geografis, keterbatasan kemampuan dan karakteristik masyarakat dan komunitas adat terpencil itu sendiri menyebabkan usaha pemberdayaan itu belum mampu menjangkau segenap komunitas tersebut. Melalui pengkajian Komunitas Adat Terpencil tersebut dapat memperbaiki konsistensi kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam di Siberut dan memperhatikan aspirasi masyarakat dan mengkaji ulang (memperbaiki) tata ruang wilayah Siberut berdasarkan partisipasi masyarakat. Realisasi berbagai program pembangunan oleh berbagai pihak (terutama yang pernah menjanjikan dengan masyarakat setempat), untuk dapat mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap agen pembangunan yang dilaksanakan secara partisipasi, transparansi dan akuntabilitas dalam setiap kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program.

Referensi:

Antropologi dan Pembangunan di Masyarakat Lokal. Nursyirwan Effendi, Lucky Zamzami

Jurnal Antropologi Papua (Papuan Journal of Social and Cultural Anthropology).

Critical Ethnography: Method, Ethics, and Performance. D. Soyini Maddison

Handbook of Social and Cultural Anthropology. John Honigmann


® Disampaikan dalam Forum Kajian Khusus Sosiologi (FOKUS), 26 November 2008

®® Alumni jurusan Sosiologi Universitas Trunojoyo 2008-2009

Pendidikan madura: Sejarah, kenyataan dan harapan







Term of Reference “Penulisan Buku”

Pendidikan Madura: Sejarah, Kenyataan dan Harapan

Dasar Pemikiran

Dewasa ini sistem pendidikan Nasional menghadapi berbagai tantangan yang cukup besar dan mendasar, terutama dalam konteks pembangunan masyarakat, negara dan bangsa. Pada era globalisasi ini, tantangan itu dirasakan sehubungan dengan keadaan dan permasalahan di berbagai bidang kehidupan yang secara langsung memiliki kaitan dengan sistem pendidikan nasional. Tantangan ini bersumber dari dua faktor yang saling berpengaruh, baik dari faktor luaran (ekstern) maupun faktor dalam (intern).

Tantangan besar dalam pendidikan nasional paling tidak meliputi tiga hal, yaitu: Pertama, sebagai akibat krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut untuk dapat mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai; Kedua, untuk mengantisipasi era globalisasi, dunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkan SDM yang kompeten agar mampu bersaing dalam pasar kerja global; Ketiga, sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, sistem pendidikan nasional dituntut untuk melakukan perubahan dan penyesuaian sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang demokratis, memperhatikan keberagaman, serta mendorong partisipasi masyarakat.

Berdasarkan permasalahan dan tantangannya tersebut, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) seolah terus merintis berbagai upaya pembaharuan pendidikan nasional, diantaranya dengan melahirkan berbagai kebijakan baru sektor pendidikan. Kebijakan-kebijakan tersebut sepertinya akan memberikan pijakan untuk membangun pendidikan nasional dengan menerapkan berbagai prinsip demokrasi, desentralisasi, otonomi, keadilan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Penerapan semua kebijakan ini diharapkan akan dapat mendukung segala upaya untuk memecahkan masalah pendidikan, yang pada gilirannya akan dapat memberikan sumbangan yang signifikan terhadap masalah-masalah makro bangsa Indonesia.

Pendidikan memang bukan merupakan suatu bidang kehidupan yang terpisah dari bidang-bidang kehidupan lainnya. Pendidikan sering dianggap sebagai faktor terpengaruh dari masalah-masalah terjadi dalam lingkungan strategis sehingga pendidikan sering menerima akibat buruk dari perubahan tersebut. Kebijakan pendidikan yang akan ditetapkan setidak-tidaknya harus mampu mengantisipasi berbagai tantangan dan permasalahan yang terjadi dalam lingkungan strategis, bahkan pendidikan harus mampu menjadikan dirinya sebagai faktor yang dapat menggerakan atau mengarahkan perubahan dalam lingkungan tersebut.

Oleh karenanya, kebijakan pendidikan diarahkan pada perwujudan sistem pendidikan yang bermutu dan dapat dijangkau oleh semua anggota masyarakat agar semua warga negara memperoleh kesempatan yang sama untuk menikmati hasil-hasil pendidikan. Dengan demikian, prinsip keadilan dalam pendidikan merupakan hal yang sangat penting, karena berkaitan dengan pemerataan, keterjangkauan, bahkan mutunya. Oleh sebab itu, keadilan dalam pendidikan menjadi konsep paling mendasar dari kebijakan pendidikan di tanah air. Persoalannya adalah, apakah yang menjadi harapan kita akan dunia pendidikan di Indonesia itu telah benar-benar mewujud pada masa pemerintahan SBY-MJK sekarang ini?

Di pojok timur laut pulau jawa bertengger sebuah pulau sempit memanjang yang secara sepintas berbentuk seperti belati. Pulau itu terbilang kecil, panjangnya hanya sekitar 160 km dan bagian terlebarnya mencapai 40 km. Dari daratan jawa pulau itu dipisahkan oleh sebuah selat dangkal kira-kira 4 km lebarnya di sebelah barat yang semakin melebar di bagian selatannya hingga menjadi sekitar 55 km. Secara teritorial Pulau Madura masih taermasuk dalam wilayah Propinsi Jawa Timur. Yang terbagi menjadi 4 kabupaten yakni, Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Jumlah penduduk Pulau Madura sampai tahuan 2004 terbilang 3.536.362 jiwa, sekitar 9,67% dari jumlah penduduk Provinsi Jawa Timur 36.548.648 , yang tarbagi atas: Bangkalan 892.987 jiwa, Sampang 847.361 jiwa, Pamekasan 750.295 jiwa, dan Sumenep 1.045.719 jiwa.

Dari pribahasa Madura Buppa, Babbu’, Guruh, Ratohterkandung makna: Bapak dan Ibu sebagai figure kecil dalam lingkup keluarga dan berada di posisi utama yang sangat dihormati bagi individu (manusia) Madura. Sedangkan dalam konteks sosial, figur utama sebagai panutan yang sangat dihormati adalah Kyai. Bagi orang Madura Kyai adalah guru yang mendidik dan mengajarkan pengetahuan agama yang memberikan tuntunan dan pedoman dalam menjalani kehidupan dunia dan akhirat. Setelah kiayi barulah Pemerntah, yakni Pejabat, Birokrasi Negara. Uraian Tersebut sedikit Memberikan gambaran terhadap bagaimana wajah dari pendidikan di Madura:

Dalam lingkungan masyarakat yang agamis (Islam), wajah pendidikan di Madura lebih banyak didominasi oleh peran serta para kyai dengan pesantren yang dibawahinya, pendidikan formal menjadi alternatif setelah pesantren. Realisasi pembangunan jembatan Suramaadu pun tidak lepas dari adanya campur tangan para Kyai. Yang akan jadi pertanyaan dan tetap menarik untuk kita diskusikan adalah bagaimana wajah pendidikan Madura dalam konteks karakteristik sosial dan budaya masyarakat Madura dan tuntutan peningkatan kuailitas sumberdaya manusia sebagai konsekuensi dari terrealisasinya Jembatan Suramadu yang notabene akan membawa iklim industrialisasi ke pulau Madura…?

Mulanya hanyalah niat dan keinginan, namun bukan berarti tanpa langkah dan kesungguhan. Kabinet Mahasiswa Universitas Trunojoyo, dan saat ini dilanjutkan oleh Himpunan mahasiswa jurusan sosiologi universitas Trunojoyo dalam perjalanannya membangun atmosfer intelektual, pada akhirnya dengan kesungguhan hati, memantapkan niat dan keinginan tersebut untuk merealisasikan Program Penulisan Buku sebagai salah satu bentuk kepedulian kita akan pembangunan madura di masa mendatang.

Program Penulisan Buku ini sendiri pada awalnya digagas oleh Kabinet Mahasiswa dan saat ini dilanjutkan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Sosiologi Universitas Trunojoyo sebagai sebuah misi yaitu membangun atmosfer intelektual di bumi Universitas Trunojoyo dan Madura pada umumnya, dimana Penulisan Buku ini sebagai jendela terdekat bagi para mahasiswa untuk mengetahui dimensi-dimensi baru dari tekhnologi dan peradaban masyarakat dunia. Juga atas realisasi ini membawa peluang dan potensi yang cukup besar dalam upaya meningkatkan kualitas generasi muda sebagai generasi yang nantinya akan memegang tonggak estafet kepemimpinan bangsa Indonesia. Langkah ini memang awal, tapi kami berupaya membangun satu patok keyakinan bahwa sekecil apapun langkah itu, setidaknya kami berani berjalan selangkah untuk memulai.

Jumat, 13 Maret 2009

About Campus

Kampus Dewasa Ini.,??!!


Kehidupan kampus dikembangkan sebagai lingkungan akademik yang dinamis sesuai dengan disiplin lmu dan profesinya, berwawasan budaya bangsa, bermoral pancasila dan berkepribadian Indonesia. Perguruan tinggi terus berupaya untuk lebih mampu menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengkajian dibidang ilmu dan teknologi, serta melaksanakan pengabdian kepada masyarakat yang bermanfaat bagi kemanusiaan dan sesuai dengan kebutuhan pembangunan Bangsa dan Negara.

Paradigma mahasiswa ditengok dari setiap fase perubahan menstimulasi sebuah kinerja positif Sang Pengambil kebijakan. Perubahan pola berfikir mahasiswa akan berkembang secara subtainable, tatkala ada endorsement dari semua pihak, terlebi pelaku pendidikan sendiri dalam menghargai mahasiswa. Mahasiswa ditengaah hiruk pikuk poitik yang serat dan pekat kepentingan ini mulai tenggelam. Seirama apa yang pernah disampaikan oleh Hermawan Sulitiyo, bahwa mahasiswa menjadi salah satu pahlawan yang terlupakan dalam fase perjalanan kebangsaan ini, sehinggga mahasiswa diposisikan sebagai komplementer dalam kehidupan berbangsa Indonesia.

Mahasiswa harus tetap berada pada posisi yang signifikan dalam menentukan sebuah pross-proses politik, selain itu perlu mahasiswa yang tekun untuk terus mengali penemuan-penemuan baru yang akan memperkaya perspektif dan semakin memperkukuh nuansa intelektualitas dan kreatifitas yang amat inheren dengan fungsi mahasiswa untuk menderaskan pencerahan bagi mahasiswa. Hal itu dilakukan dengan mengadakan penemuan-penemuan alternatif sebagai preferensi pemberdayaan sumber potensial yang bermuara di tubuh bangsa Indonesia.

1. Menjadi arahan positif untuk membentuk new paradigma baru yang bertautan dengan kekuatan intelektual dan teknologi yang menjadi bagian untuk menyongsong peubahan arah paradigma keilmuan di Universitas Trunojoyo Madura

  1. membangun budaya Intelektual yang genuine dan bias menebarkan semangat tranformatif bagi lingkungan yang amat jauh dari lingkaran budaya ilmiah sejatinya.
  2. membangunh buday ilmiah otentik yang bepijak pada tata nilai dan etika keilmuan yang dijabarkan dalam beberapa rumusan pemikiran yang strategis, integrated, dan sistematik

di tulis Oleh: Syaiful Arief

Jumat, 20 Februari 2009

Antropologi terapan

KAJIAN PEMBANGUNAN SEBAGAI PENGEMBANGAN SUBDISIPLIN ANTROPOLOGI TERAPAN

Syaiful Arif ®

Konsep Pembangunan secara teoritis dibangun dari pandangan teori Modernisasi pada era tahun 1950-an. Pada masa itu, banyak negara jajahan telah merdeka dari cengkeraman kolonialisme, terutama pasca Perang Dunia II. Setelah itu, kekuatan dunia di dominasi oleh dua kekuatan blok yaitu Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat, dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Sovyet. Blok Barat mewakili sejumlah negara yang concern dengan pembangunan untuk memajukan manusia melalui perkembangan materialisme/pembangunan ekonomi. Pembangunan yang berlangsung pada periode awal adalah pembangunan berdasarkan pandangan Barat, karena teori dan model pembangunan berakar pada sejarah ekonomi Barat (Hette, 2001: 64). Sementara, kekuatan Blok Timur terletak kepada usaha menanamkan ideologi sosialis-komunis ke dalam pembangunan. Paradigma Leninisme menjadi sentral bagi peradaban pembangunan yang dibentuk oleh kekuatan blok Timur ini. Dengan demikian, periode awal pembangunan negara-negara post-kolonial merupakan kontestasi antara kekuatan ideologi pembangunan modernisme dan kekuatan ideologi pembangunan sosialis-komunisme.

Oleh karena pembangunan dan kebudayaan sangat erat terkait dan berhubungan satu sama lain, maka terdapat suatu konsep yang cukup berhembus semilir semenjak lama yaitu pembangunan berwawasan budaya. Di dalam pengertian ini, pelaku pembangunan diingatkan untuk tidak melepaskan diri dari konteks kebudayaan untuk merancang, melaksanakan dan menghasilkan tindak pembangunan. Syahrizal memberikan pengertian tentang konsep pembangunan berwawasan budaya ke dalam dua pengertian. (1) Pembangunan berwawasan budaya adalah pembangunan yang tidak menghilangkan nilai-nilai budaya dan tetap mementingkan wujud-wujud budaya didalam setiap aspek yang dibangun di dalam masyarakat. (2) Pembangunan berwawasan budaya adalah pembangunan yang dilaksanakan tidak bertentangan dengan kebudayaan, karena kalau terjadi pertentangan, maka pembangunan akan merugikan masyarakat. Hal ini berarti, pembangunan tersebut dianggap gagal. Dengan demikian, secara normatif, pembangunan mestinya berpijak kepada ide dan kebutuhan masyarakat. Colleta mendefinisikan pembangunan lebih moderat dan umum, yakni sebagai suatu proses perubahan yang “positif“ dalam meningkatkan kualitas dan tingkat keberadaan manusia. Juga diartikan bahwa, pembangunan pada hakekatnya merupakan proses perubahan sosio-ekonomis yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup, kualitas dan martabat manusia (1987: 4-5). Pengertian Colleta ini memberi ingatan kepada kita semua bahwa materi dan tujuan dasar pembangunan adalah kualitas dan martabat manusia.

Untuk memantapkan concern kajian pembangunan, antropologi menempatkan diri melalui pengembangan suatu subdisiplin, yaitu antropologi terapan. bahwa antropologi terapan memanfaatkan disiplin antropologi di luar batas-batas disiplin akademis yang umum untuk memecahkan problem-problem praktis di dalam pembangunan, melalui penyediaan informasi, penciptaan kebijakan atau langsung melakukan suatu aksi (practicing anthropology). Antropologi selain menganalisa fenomena pembangunan, juga langsung praktek menerapkan ilmu di bidang-bidang tertentu pembangunan seperti kesehatan, pendidikan, pembinaan masyarakat dan lain-lain. Dalam konteks ini, antropologi dapat berperan penting dalam pembangunan melalui penelitian terapan dan intervensi. Melalui dua metode ini, antropologi dapat menolong menginformasikan proses pembangunan bagi pemerintah dan juga masyarakat, khususnya dalam aspek kebijakan, dan mengevaluasi dampak atau keputusan suatu kebijakan, dan menjembatani antara pola pikir pemerintah dan budaya masyarakat lokal.

Akhirnya, antropologi terapan berorientasi menggunakan data yang dikumpulkan dari subdisiplin antropologi lainnya, untuk menawarkan solusi praktis bagi masalah-masalah dalam masyarakat akibat proses pembangunan. Tulisan Nursyirwan Effendi tentang suatu fenomena tentang aktivitas masyarakat untuk membangun dan mengembangkan diri yang tidak termasuk di dalam kerangka rancangan pembangunan formal atau kerangka pembangunan yang diciptakan oleh pemerintah. Pembangunan di tengah masyarakat tidak berarti adalah hasil dari kebijakan, tetapi juga di luar kebijakan yang dibuat dan diimplementasikan. Pembangunan juga berarti pelaksanaan perubahan masyarakat melalui usaha mandiri dan tidak ada kaitannya dengan pembangunan yang dirancang oleh pemerintah. Fenomena tentang terdapatnya sejumlah kelompok masyarakat yang secara mandiri mengubah standar, pola hidup dan menciptakan peluang kesejahteraan di luar konteks perjalan pembangunan secara formal, atau mereka membangun diri secara independen dari peran dan campur tangan pemerintah disebut pembangunan setempat atau “on-the-ground development“. Pada konteks ini, antropologi concern dengan fenomena kemasyarakatan yang berkontribusi kepada wacana pembangunan.

Study Case

  1. 1. Terjadinya krisis moneter yang menimpa indonesia dan menjalar pada aspek kehidupan lainnya seperti sosial, budaya dan politik sehingga memicu terjadinya krisis multi dimensional yang berkepanjangan dapat diminamilisir dengan upaya menggerakkan sektor lain. Cerita sukses pada krisis ekonomi tersebut dilakukan melalui aktifitas ekonomi pasar loak ataupun gerakan ekonomi sektor informal lainnya. Melalui pasar Loak misalnya, ditemukan rekontruksi sosial masyarakat lokal yang mengarah kepada kelompok sosial ekonomi menengah ke bawah yang mengkomsumsi barang-barang kelas dua yang diperjualbelikan oleh pedagang loak.

2. Implikasi Undang-undang perkawinan terhadap keluarga dan wanita yang menunjukkan bahwa adanya perbedaan peran yang kaku antara laki-laki dan wanita dalam keluarga sehingga menjadikan wanita tidak berdaya dari segi ekonomi dan wanita selalu tergantung pada laki-laki (suami). Disamping itu ketidakberdayaan wanita secara ekonomi ini seringkali dimanfaatkan oleh laki-laki untuk melakukan poligami. Kasus-kasus perceraian yang terjadi kebanyakan adalah karena adanya orang ketiga dan masalah ekonomi. Sementara itu prosedur yang berbelit-belit dan cenderung memihak laki-laki seringkali menyebabkan wanita enggan mengurus perceraiannya di pengadilan, sehingga banyak terjadi cerai di bawah tangan. Akibatnya wanita yang diceraikan tidak mendapat santunan dan secara hukum tidak jelas statusnya, sedangkan laki-laki dengan mudah akan kawin lagi. Dengan demikian meskipun berdasarkan syarat-syarat yang diberlakukan sulit untuk kawin lagi bagi laki-laki tetapi dengan mudahnya cerai di bawah tangan laki-laki lebih untuk berpoligami secara tidak sah.

3. Hasil penelitian lapangan Edi Indrizal yang dilakukan di sebuah perkampungan tradisional Minangkabau yakni di Balairong Bunta di Kenagarian Rao Rao Kabupaten Tanah Datar Propinsi Sumatera Barat mengenai kerentanan struktural laki-laki lansia dalam masyarakat matrilineal Minangkabau. Topik Antropologi tentang kerentanan orang lanjut usia (lansia), dimana laki-laki lansia lebih jarang dibicarakan dibandingkan perempuan lansia. Hal ini karena laki-laki lansia biasanya dipandang dalam posisi lebih beruntung, lebih kuat, lebih berkuasa, mempunyai harta, memegang hak waris yang lebih besar, memiliki tabungan, memiliki akses ekonomi lebih baik dan sebagainya, sehingga sering dianggap kurang rentan dibandingkan perempuan lansia. Kerentanan laki-laki di usia tuanya cenderung sering dijelaskan menurut kerangka asumsi pendekatan individual atau dengan menggunakan perspektif mentalitas dan representasi budaya yang lebih menekankan analisisnya terhadap saling hubungan antara situasi kerentanan laki-laki lansia dengan pola pencitraan (image), sistem norma dan dominasi ideologi patriarki di dalam masyarakat. Kerentanan laki-laki lansia selalu dihubungkan dengan perubahan status, kedudukan dan sumber-sumber kekuasaan yang berkurang secara drastis yang dialaminya sehingga laki-laki lansia menghadapi suatu situasi yang dinamakan post power syndrom.

4. Pemahaman mengenai tindakan pelecehan dan kekerasan yang dialami oleh pihak perempuan. Perempuan mengalami pelecehan seksual dalam berbagai bentuk, mulai dari penilaian seksi dan kontak fisik (patting dan brushing) sampai pada ajakan yang terang-terangan untuk kesenangan seksual dan pemaksaan untuk berhubungan seks. Banyak alasan yang menyebabkan laki-laki melakukan intimidasi kepada kaum perempuan, di antaranya sebagai alat kontrol terhadap pasangan, laki-laki merasa terancam kedudukannya oleh kaum perempuan terutma di tempat kerja, dan kelainan jiwa yang disebabkan trauma semasa kecil. Selain itu, korban pelecehan dan kekerasan sering menyembunyikan apa yang mereka alami, terutama dari orang tua, suami, anak-anak, dan juga dari masyarakat. Mereka takut orang di luar situasi tersebut menganggap bahwa perilaku tertentu mereka justru merupakan stimulus bagi timbulnya pelecehan dan kekerasan yang mereka alami.

5. Gambaran tentang pengkajian Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang saat ini menjadi perhatian serius pemerintah daerah Sumatera Barat di kepulauan Mentawai untuk meningkatkan harkat dan martabat masyarakat lokal sesuai dengan amanat undang-undang dan tujuan negara Indonesia. Namun dikarenakan berbagai kendala geografis, keterbatasan kemampuan dan karakteristik masyarakat dan komunitas adat terpencil itu sendiri menyebabkan usaha pemberdayaan itu belum mampu menjangkau segenap komunitas tersebut. Melalui pengkajian Komunitas Adat Terpencil tersebut dapat memperbaiki konsistensi kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam di Siberut dan memperhatikan aspirasi masyarakat dan mengkaji ulang (memperbaiki) tata ruang wilayah Siberut berdasarkan partisipasi masyarakat. Realisasi berbagai program pembangunan oleh berbagai pihak (terutama yang pernah menjanjikan dengan masyarakat setempat), untuk dapat mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap agen pembangunan yang dilaksanakan secara partisipasi, transparansi dan akuntabilitas dalam setiap kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program.

Referensi:

Antropologi dan Pembangunan di Masyarakat Lokal. Nursyirwan Effendi, Lucky Zamzami

Jurnal Antropologi Papua (Papuan Journal of Social and Cultural Anthropology).

Critical Ethnography: Method, Ethics, and Performance. D. Soyini Maddison

Handbook of Social and Cultural Anthropology. John Honigmann


® Disampaikan dalam Forum Kajian Khusus Sosiologi (FOKUS), 26 November 2008

®® Alumni jurusan Sosiologi Universitas Trunojoyo 2008-2009