Senin, 26 Oktober 2009

Nilai Plus Sosiologi


Dari segelintir temen-temen mahasiswa mungkin menyayangkan kenapa mereka bisa terdampar di jurusan yang masih asing di telinga kita. bagi mereka sosiologi merupakan sebuah program studi yang kurang bonavit. tapi tidak bagi saya..... kenapa ?!?!!??
program dengan basic ilmu sosial yang selalu identik dengan sikap santai and ogah-ogahan ternyata punya nilai plus tersendiri lho... nggak semua orang bisa merangkai kata dengan indah, berdebat and berdiskusi layaknya tokoh negara. semua itu didapat di sosiologi, so jangan memandang sebelah mata terhadap progaram studi yang menurut saya punya masa depan yang terang benderang bagai bintang kejora. selama 3 tahun saya menuntut ilmu di sosiologi banyak sekali pengalaman dan ilmu yang didapat saya mungkin tidak semua orang bisa mendapatkan itu semua. dekat dan menjadi bagian dari masyarakat merupakan input yang kita dapat sini.
bisa dibayangin aja zaman sekarang nich bursa kerja pada memburu lulusan dari sarjana sosiologi.sesuatu yang hanya dilirik sebelah mata menjadi penting dan berharga bak berlian dalam lumpur. udah nggak jaman sekarang menentukan jurusan hanya tergantung pada kuantitas bukan pada kualitas. udah nggak jaman kita iut-ikut kelas bonafit yang lulusannya tidak menjamin. bukan menghina tapi sekarang kita harus lebih berpikir tentang masa depan. eman-eman bro kuliah 4 tahun kalo nggak bisa mengahasilkan, yang ada malah menghabiskan uang ortu. kalo rejeki sich eman udah ada yang ngatur, keberuntungan emang menjadi peluang masing-masing individu, tapi kalau kita pandai dalam memperhitungkan kenapa nggak??!!!!

by : Diska Ariesta Fajriani
Sosiologi angkatan 2006 - unijoyo

Senin, 12 Oktober 2009

MK Sos 09


Alhamdulilah kemaren pada tanggal 3-4 Oktober 2009. Program studi sosiologi telah menyelenggarakan malam keakraban di pantai Slopeng Sumenep. Dengan harapan semua pihak (Peserta dan panitia) mendapatkan manfaat dan hasil yang setimpal dengan usaha persiapan sebelumnya.
Terima kasih kepada seluruh mahasiswa baru Sosiologi angkatan 2009 yang telah bersedia mengikuti acara malam keakraban tersebut, dan juga terima kasih kepada panitia yang telah menyiapkan acara ni dengan sedemikian rupa indahnya.,,

Dan kepada Bpk. Priyono Tri Febrianto, selaku ketua program studi Sosiologi, saya sampaikan banyak-banyak terima kasih karena telah meluangkan waktunya untuk membuka dan memberangkatkan peserta dan panitia Malam Keakraban tersebut....

Salam Semangat dan Selamat berjuang
HIMA-Sosiologi

Sabtu, 28 Maret 2009

KAJIAN PEMBANGUNAN SEBAGAI PENGEMBANGAN SUBDISIPLIN ANTROPOLOGI TERAPAN®

Syaiful Arif ®

Konsep Pembangunan secara teoritis dibangun dari pandangan teori Modernisasi pada era tahun 1950-an. Pada masa itu, banyak negara jajahan telah merdeka dari cengkeraman kolonialisme, terutama pasca Perang Dunia II. Setelah itu, kekuatan dunia di dominasi oleh dua kekuatan blok yaitu Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat, dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Sovyet. Blok Barat mewakili sejumlah negara yang concern dengan pembangunan untuk memajukan manusia melalui perkembangan materialisme/pembangunan ekonomi. Pembangunan yang berlangsung pada periode awal adalah pembangunan berdasarkan pandangan Barat, karena teori dan model pembangunan berakar pada sejarah ekonomi Barat (Hette, 2001: 64). Sementara, kekuatan Blok Timur terletak kepada usaha menanamkan ideologi sosialis-komunis ke dalam pembangunan. Paradigma Leninisme menjadi sentral bagi peradaban pembangunan yang dibentuk oleh kekuatan blok Timur ini. Dengan demikian, periode awal pembangunan negara-negara post-kolonial merupakan kontestasi antara kekuatan ideologi pembangunan modernisme dan kekuatan ideologi pembangunan sosialis-komunisme.

Oleh karena pembangunan dan kebudayaan sangat erat terkait dan berhubungan satu sama lain, maka terdapat suatu konsep yang cukup berhembus semilir semenjak lama yaitu pembangunan berwawasan budaya. Di dalam pengertian ini, pelaku pembangunan diingatkan untuk tidak melepaskan diri dari konteks kebudayaan untuk merancang, melaksanakan dan menghasilkan tindak pembangunan. Syahrizal memberikan pengertian tentang konsep pembangunan berwawasan budaya ke dalam dua pengertian. (1) Pembangunan berwawasan budaya adalah pembangunan yang tidak menghilangkan nilai-nilai budaya dan tetap mementingkan wujud-wujud budaya didalam setiap aspek yang dibangun di dalam masyarakat. (2) Pembangunan berwawasan budaya adalah pembangunan yang dilaksanakan tidak bertentangan dengan kebudayaan, karena kalau terjadi pertentangan, maka pembangunan akan merugikan masyarakat. Hal ini berarti, pembangunan tersebut dianggap gagal. Dengan demikian, secara normatif, pembangunan mestinya berpijak kepada ide dan kebutuhan masyarakat. Colleta mendefinisikan pembangunan lebih moderat dan umum, yakni sebagai suatu proses perubahan yang “positif“ dalam meningkatkan kualitas dan tingkat keberadaan manusia. Juga diartikan bahwa, pembangunan pada hakekatnya merupakan proses perubahan sosio-ekonomis yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup, kualitas dan martabat manusia (1987: 4-5). Pengertian Colleta ini memberi ingatan kepada kita semua bahwa materi dan tujuan dasar pembangunan adalah kualitas dan martabat manusia.

Untuk memantapkan concern kajian pembangunan, antropologi menempatkan diri melalui pengembangan suatu subdisiplin, yaitu antropologi terapan. bahwa antropologi terapan memanfaatkan disiplin antropologi di luar batas-batas disiplin akademis yang umum untuk memecahkan problem-problem praktis di dalam pembangunan, melalui penyediaan informasi, penciptaan kebijakan atau langsung melakukan suatu aksi (practicing anthropology). Antropologi selain menganalisa fenomena pembangunan, juga langsung praktek menerapkan ilmu di bidang-bidang tertentu pembangunan seperti kesehatan, pendidikan, pembinaan masyarakat dan lain-lain. Dalam konteks ini, antropologi dapat berperan penting dalam pembangunan melalui penelitian terapan dan intervensi. Melalui dua metode ini, antropologi dapat menolong menginformasikan proses pembangunan bagi pemerintah dan juga masyarakat, khususnya dalam aspek kebijakan, dan mengevaluasi dampak atau keputusan suatu kebijakan, dan menjembatani antara pola pikir pemerintah dan budaya masyarakat lokal.

Akhirnya, antropologi terapan berorientasi menggunakan data yang dikumpulkan dari subdisiplin antropologi lainnya, untuk menawarkan solusi praktis bagi masalah-masalah dalam masyarakat akibat proses pembangunan. Tulisan Nursyirwan Effendi tentang suatu fenomena tentang aktivitas masyarakat untuk membangun dan mengembangkan diri yang tidak termasuk di dalam kerangka rancangan pembangunan formal atau kerangka pembangunan yang diciptakan oleh pemerintah. Pembangunan di tengah masyarakat tidak berarti adalah hasil dari kebijakan, tetapi juga di luar kebijakan yang dibuat dan diimplementasikan. Pembangunan juga berarti pelaksanaan perubahan masyarakat melalui usaha mandiri dan tidak ada kaitannya dengan pembangunan yang dirancang oleh pemerintah. Fenomena tentang terdapatnya sejumlah kelompok masyarakat yang secara mandiri mengubah standar, pola hidup dan menciptakan peluang kesejahteraan di luar konteks perjalan pembangunan secara formal, atau mereka membangun diri secara independen dari peran dan campur tangan pemerintah disebut pembangunan setempat atau “on-the-ground development“. Pada konteks ini, antropologi concern dengan fenomena kemasyarakatan yang berkontribusi kepada wacana pembangunan.

Study Case

1. Terjadinya krisis moneter yang menimpa indonesia dan menjalar pada aspek kehidupan lainnya seperti sosial, budaya dan politik sehingga memicu terjadinya krisis multi dimensional yang berkepanjangan dapat diminamilisir dengan upaya menggerakkan sektor lain. Cerita sukses pada krisis ekonomi tersebut dilakukan melalui aktifitas ekonomi pasar loak ataupun gerakan ekonomi sektor informal lainnya. Melalui pasar Loak misalnya, ditemukan rekontruksi sosial masyarakat lokal yang mengarah kepada kelompok sosial ekonomi menengah ke bawah yang mengkomsumsi barang-barang kelas dua yang diperjualbelikan oleh pedagang loak.

2. Implikasi Undang-undang perkawinan terhadap keluarga dan wanita yang menunjukkan bahwa adanya perbedaan peran yang kaku antara laki-laki dan wanita dalam keluarga sehingga menjadikan wanita tidak berdaya dari segi ekonomi dan wanita selalu tergantung pada laki-laki (suami). Disamping itu ketidakberdayaan wanita secara ekonomi ini seringkali dimanfaatkan oleh laki-laki untuk melakukan poligami. Kasus-kasus perceraian yang terjadi kebanyakan adalah karena adanya orang ketiga dan masalah ekonomi. Sementara itu prosedur yang berbelit-belit dan cenderung memihak laki-laki seringkali menyebabkan wanita enggan mengurus perceraiannya di pengadilan, sehingga banyak terjadi cerai di bawah tangan. Akibatnya wanita yang diceraikan tidak mendapat santunan dan secara hukum tidak jelas statusnya, sedangkan laki-laki dengan mudah akan kawin lagi. Dengan demikian meskipun berdasarkan syarat-syarat yang diberlakukan sulit untuk kawin lagi bagi laki-laki tetapi dengan mudahnya cerai di bawah tangan laki-laki lebih untuk berpoligami secara tidak sah.

3. Hasil penelitian lapangan Edi Indrizal yang dilakukan di sebuah perkampungan tradisional Minangkabau yakni di Balairong Bunta di Kenagarian Rao Rao Kabupaten Tanah Datar Propinsi Sumatera Barat mengenai kerentanan struktural laki-laki lansia dalam masyarakat matrilineal Minangkabau. Topik Antropologi tentang kerentanan orang lanjut usia (lansia), dimana laki-laki lansia lebih jarang dibicarakan dibandingkan perempuan lansia. Hal ini karena laki-laki lansia biasanya dipandang dalam posisi lebih beruntung, lebih kuat, lebih berkuasa, mempunyai harta, memegang hak waris yang lebih besar, memiliki tabungan, memiliki akses ekonomi lebih baik dan sebagainya, sehingga sering dianggap kurang rentan dibandingkan perempuan lansia. Kerentanan laki-laki di usia tuanya cenderung sering dijelaskan menurut kerangka asumsi pendekatan individual atau dengan menggunakan perspektif mentalitas dan representasi budaya yang lebih menekankan analisisnya terhadap saling hubungan antara situasi kerentanan laki-laki lansia dengan pola pencitraan (image), sistem norma dan dominasi ideologi patriarki di dalam masyarakat. Kerentanan laki-laki lansia selalu dihubungkan dengan perubahan status, kedudukan dan sumber-sumber kekuasaan yang berkurang secara drastis yang dialaminya sehingga laki-laki lansia menghadapi suatu situasi yang dinamakan post power syndrom.

4. Pemahaman mengenai tindakan pelecehan dan kekerasan yang dialami oleh pihak perempuan. Perempuan mengalami pelecehan seksual dalam berbagai bentuk, mulai dari penilaian seksi dan kontak fisik (patting dan brushing) sampai pada ajakan yang terang-terangan untuk kesenangan seksual dan pemaksaan untuk berhubungan seks. Banyak alasan yang menyebabkan laki-laki melakukan intimidasi kepada kaum perempuan, di antaranya sebagai alat kontrol terhadap pasangan, laki-laki merasa terancam kedudukannya oleh kaum perempuan terutma di tempat kerja, dan kelainan jiwa yang disebabkan trauma semasa kecil. Selain itu, korban pelecehan dan kekerasan sering menyembunyikan apa yang mereka alami, terutama dari orang tua, suami, anak-anak, dan juga dari masyarakat. Mereka takut orang di luar situasi tersebut menganggap bahwa perilaku tertentu mereka justru merupakan stimulus bagi timbulnya pelecehan dan kekerasan yang mereka alami.

5. Gambaran tentang pengkajian Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang saat ini menjadi perhatian serius pemerintah daerah Sumatera Barat di kepulauan Mentawai untuk meningkatkan harkat dan martabat masyarakat lokal sesuai dengan amanat undang-undang dan tujuan negara Indonesia. Namun dikarenakan berbagai kendala geografis, keterbatasan kemampuan dan karakteristik masyarakat dan komunitas adat terpencil itu sendiri menyebabkan usaha pemberdayaan itu belum mampu menjangkau segenap komunitas tersebut. Melalui pengkajian Komunitas Adat Terpencil tersebut dapat memperbaiki konsistensi kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam di Siberut dan memperhatikan aspirasi masyarakat dan mengkaji ulang (memperbaiki) tata ruang wilayah Siberut berdasarkan partisipasi masyarakat. Realisasi berbagai program pembangunan oleh berbagai pihak (terutama yang pernah menjanjikan dengan masyarakat setempat), untuk dapat mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap agen pembangunan yang dilaksanakan secara partisipasi, transparansi dan akuntabilitas dalam setiap kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program.

Referensi:

Antropologi dan Pembangunan di Masyarakat Lokal. Nursyirwan Effendi, Lucky Zamzami

Jurnal Antropologi Papua (Papuan Journal of Social and Cultural Anthropology).

Critical Ethnography: Method, Ethics, and Performance. D. Soyini Maddison

Handbook of Social and Cultural Anthropology. John Honigmann


® Disampaikan dalam Forum Kajian Khusus Sosiologi (FOKUS), 26 November 2008

®® Alumni jurusan Sosiologi Universitas Trunojoyo 2008-2009

Pendidikan madura: Sejarah, kenyataan dan harapan







Term of Reference “Penulisan Buku”

Pendidikan Madura: Sejarah, Kenyataan dan Harapan

Dasar Pemikiran

Dewasa ini sistem pendidikan Nasional menghadapi berbagai tantangan yang cukup besar dan mendasar, terutama dalam konteks pembangunan masyarakat, negara dan bangsa. Pada era globalisasi ini, tantangan itu dirasakan sehubungan dengan keadaan dan permasalahan di berbagai bidang kehidupan yang secara langsung memiliki kaitan dengan sistem pendidikan nasional. Tantangan ini bersumber dari dua faktor yang saling berpengaruh, baik dari faktor luaran (ekstern) maupun faktor dalam (intern).

Tantangan besar dalam pendidikan nasional paling tidak meliputi tiga hal, yaitu: Pertama, sebagai akibat krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut untuk dapat mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai; Kedua, untuk mengantisipasi era globalisasi, dunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkan SDM yang kompeten agar mampu bersaing dalam pasar kerja global; Ketiga, sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, sistem pendidikan nasional dituntut untuk melakukan perubahan dan penyesuaian sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang demokratis, memperhatikan keberagaman, serta mendorong partisipasi masyarakat.

Berdasarkan permasalahan dan tantangannya tersebut, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) seolah terus merintis berbagai upaya pembaharuan pendidikan nasional, diantaranya dengan melahirkan berbagai kebijakan baru sektor pendidikan. Kebijakan-kebijakan tersebut sepertinya akan memberikan pijakan untuk membangun pendidikan nasional dengan menerapkan berbagai prinsip demokrasi, desentralisasi, otonomi, keadilan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Penerapan semua kebijakan ini diharapkan akan dapat mendukung segala upaya untuk memecahkan masalah pendidikan, yang pada gilirannya akan dapat memberikan sumbangan yang signifikan terhadap masalah-masalah makro bangsa Indonesia.

Pendidikan memang bukan merupakan suatu bidang kehidupan yang terpisah dari bidang-bidang kehidupan lainnya. Pendidikan sering dianggap sebagai faktor terpengaruh dari masalah-masalah terjadi dalam lingkungan strategis sehingga pendidikan sering menerima akibat buruk dari perubahan tersebut. Kebijakan pendidikan yang akan ditetapkan setidak-tidaknya harus mampu mengantisipasi berbagai tantangan dan permasalahan yang terjadi dalam lingkungan strategis, bahkan pendidikan harus mampu menjadikan dirinya sebagai faktor yang dapat menggerakan atau mengarahkan perubahan dalam lingkungan tersebut.

Oleh karenanya, kebijakan pendidikan diarahkan pada perwujudan sistem pendidikan yang bermutu dan dapat dijangkau oleh semua anggota masyarakat agar semua warga negara memperoleh kesempatan yang sama untuk menikmati hasil-hasil pendidikan. Dengan demikian, prinsip keadilan dalam pendidikan merupakan hal yang sangat penting, karena berkaitan dengan pemerataan, keterjangkauan, bahkan mutunya. Oleh sebab itu, keadilan dalam pendidikan menjadi konsep paling mendasar dari kebijakan pendidikan di tanah air. Persoalannya adalah, apakah yang menjadi harapan kita akan dunia pendidikan di Indonesia itu telah benar-benar mewujud pada masa pemerintahan SBY-MJK sekarang ini?

Di pojok timur laut pulau jawa bertengger sebuah pulau sempit memanjang yang secara sepintas berbentuk seperti belati. Pulau itu terbilang kecil, panjangnya hanya sekitar 160 km dan bagian terlebarnya mencapai 40 km. Dari daratan jawa pulau itu dipisahkan oleh sebuah selat dangkal kira-kira 4 km lebarnya di sebelah barat yang semakin melebar di bagian selatannya hingga menjadi sekitar 55 km. Secara teritorial Pulau Madura masih taermasuk dalam wilayah Propinsi Jawa Timur. Yang terbagi menjadi 4 kabupaten yakni, Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Jumlah penduduk Pulau Madura sampai tahuan 2004 terbilang 3.536.362 jiwa, sekitar 9,67% dari jumlah penduduk Provinsi Jawa Timur 36.548.648 , yang tarbagi atas: Bangkalan 892.987 jiwa, Sampang 847.361 jiwa, Pamekasan 750.295 jiwa, dan Sumenep 1.045.719 jiwa.

Dari pribahasa Madura Buppa, Babbu’, Guruh, Ratohterkandung makna: Bapak dan Ibu sebagai figure kecil dalam lingkup keluarga dan berada di posisi utama yang sangat dihormati bagi individu (manusia) Madura. Sedangkan dalam konteks sosial, figur utama sebagai panutan yang sangat dihormati adalah Kyai. Bagi orang Madura Kyai adalah guru yang mendidik dan mengajarkan pengetahuan agama yang memberikan tuntunan dan pedoman dalam menjalani kehidupan dunia dan akhirat. Setelah kiayi barulah Pemerntah, yakni Pejabat, Birokrasi Negara. Uraian Tersebut sedikit Memberikan gambaran terhadap bagaimana wajah dari pendidikan di Madura:

Dalam lingkungan masyarakat yang agamis (Islam), wajah pendidikan di Madura lebih banyak didominasi oleh peran serta para kyai dengan pesantren yang dibawahinya, pendidikan formal menjadi alternatif setelah pesantren. Realisasi pembangunan jembatan Suramaadu pun tidak lepas dari adanya campur tangan para Kyai. Yang akan jadi pertanyaan dan tetap menarik untuk kita diskusikan adalah bagaimana wajah pendidikan Madura dalam konteks karakteristik sosial dan budaya masyarakat Madura dan tuntutan peningkatan kuailitas sumberdaya manusia sebagai konsekuensi dari terrealisasinya Jembatan Suramadu yang notabene akan membawa iklim industrialisasi ke pulau Madura…?

Mulanya hanyalah niat dan keinginan, namun bukan berarti tanpa langkah dan kesungguhan. Kabinet Mahasiswa Universitas Trunojoyo, dan saat ini dilanjutkan oleh Himpunan mahasiswa jurusan sosiologi universitas Trunojoyo dalam perjalanannya membangun atmosfer intelektual, pada akhirnya dengan kesungguhan hati, memantapkan niat dan keinginan tersebut untuk merealisasikan Program Penulisan Buku sebagai salah satu bentuk kepedulian kita akan pembangunan madura di masa mendatang.

Program Penulisan Buku ini sendiri pada awalnya digagas oleh Kabinet Mahasiswa dan saat ini dilanjutkan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Sosiologi Universitas Trunojoyo sebagai sebuah misi yaitu membangun atmosfer intelektual di bumi Universitas Trunojoyo dan Madura pada umumnya, dimana Penulisan Buku ini sebagai jendela terdekat bagi para mahasiswa untuk mengetahui dimensi-dimensi baru dari tekhnologi dan peradaban masyarakat dunia. Juga atas realisasi ini membawa peluang dan potensi yang cukup besar dalam upaya meningkatkan kualitas generasi muda sebagai generasi yang nantinya akan memegang tonggak estafet kepemimpinan bangsa Indonesia. Langkah ini memang awal, tapi kami berupaya membangun satu patok keyakinan bahwa sekecil apapun langkah itu, setidaknya kami berani berjalan selangkah untuk memulai.

Jumat, 13 Maret 2009

About Campus

Kampus Dewasa Ini.,??!!


Kehidupan kampus dikembangkan sebagai lingkungan akademik yang dinamis sesuai dengan disiplin lmu dan profesinya, berwawasan budaya bangsa, bermoral pancasila dan berkepribadian Indonesia. Perguruan tinggi terus berupaya untuk lebih mampu menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengkajian dibidang ilmu dan teknologi, serta melaksanakan pengabdian kepada masyarakat yang bermanfaat bagi kemanusiaan dan sesuai dengan kebutuhan pembangunan Bangsa dan Negara.

Paradigma mahasiswa ditengok dari setiap fase perubahan menstimulasi sebuah kinerja positif Sang Pengambil kebijakan. Perubahan pola berfikir mahasiswa akan berkembang secara subtainable, tatkala ada endorsement dari semua pihak, terlebi pelaku pendidikan sendiri dalam menghargai mahasiswa. Mahasiswa ditengaah hiruk pikuk poitik yang serat dan pekat kepentingan ini mulai tenggelam. Seirama apa yang pernah disampaikan oleh Hermawan Sulitiyo, bahwa mahasiswa menjadi salah satu pahlawan yang terlupakan dalam fase perjalanan kebangsaan ini, sehinggga mahasiswa diposisikan sebagai komplementer dalam kehidupan berbangsa Indonesia.

Mahasiswa harus tetap berada pada posisi yang signifikan dalam menentukan sebuah pross-proses politik, selain itu perlu mahasiswa yang tekun untuk terus mengali penemuan-penemuan baru yang akan memperkaya perspektif dan semakin memperkukuh nuansa intelektualitas dan kreatifitas yang amat inheren dengan fungsi mahasiswa untuk menderaskan pencerahan bagi mahasiswa. Hal itu dilakukan dengan mengadakan penemuan-penemuan alternatif sebagai preferensi pemberdayaan sumber potensial yang bermuara di tubuh bangsa Indonesia.

1. Menjadi arahan positif untuk membentuk new paradigma baru yang bertautan dengan kekuatan intelektual dan teknologi yang menjadi bagian untuk menyongsong peubahan arah paradigma keilmuan di Universitas Trunojoyo Madura

  1. membangun budaya Intelektual yang genuine dan bias menebarkan semangat tranformatif bagi lingkungan yang amat jauh dari lingkaran budaya ilmiah sejatinya.
  2. membangunh buday ilmiah otentik yang bepijak pada tata nilai dan etika keilmuan yang dijabarkan dalam beberapa rumusan pemikiran yang strategis, integrated, dan sistematik

di tulis Oleh: Syaiful Arief

Jumat, 20 Februari 2009

Antropologi terapan

KAJIAN PEMBANGUNAN SEBAGAI PENGEMBANGAN SUBDISIPLIN ANTROPOLOGI TERAPAN

Syaiful Arif ®

Konsep Pembangunan secara teoritis dibangun dari pandangan teori Modernisasi pada era tahun 1950-an. Pada masa itu, banyak negara jajahan telah merdeka dari cengkeraman kolonialisme, terutama pasca Perang Dunia II. Setelah itu, kekuatan dunia di dominasi oleh dua kekuatan blok yaitu Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat, dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Sovyet. Blok Barat mewakili sejumlah negara yang concern dengan pembangunan untuk memajukan manusia melalui perkembangan materialisme/pembangunan ekonomi. Pembangunan yang berlangsung pada periode awal adalah pembangunan berdasarkan pandangan Barat, karena teori dan model pembangunan berakar pada sejarah ekonomi Barat (Hette, 2001: 64). Sementara, kekuatan Blok Timur terletak kepada usaha menanamkan ideologi sosialis-komunis ke dalam pembangunan. Paradigma Leninisme menjadi sentral bagi peradaban pembangunan yang dibentuk oleh kekuatan blok Timur ini. Dengan demikian, periode awal pembangunan negara-negara post-kolonial merupakan kontestasi antara kekuatan ideologi pembangunan modernisme dan kekuatan ideologi pembangunan sosialis-komunisme.

Oleh karena pembangunan dan kebudayaan sangat erat terkait dan berhubungan satu sama lain, maka terdapat suatu konsep yang cukup berhembus semilir semenjak lama yaitu pembangunan berwawasan budaya. Di dalam pengertian ini, pelaku pembangunan diingatkan untuk tidak melepaskan diri dari konteks kebudayaan untuk merancang, melaksanakan dan menghasilkan tindak pembangunan. Syahrizal memberikan pengertian tentang konsep pembangunan berwawasan budaya ke dalam dua pengertian. (1) Pembangunan berwawasan budaya adalah pembangunan yang tidak menghilangkan nilai-nilai budaya dan tetap mementingkan wujud-wujud budaya didalam setiap aspek yang dibangun di dalam masyarakat. (2) Pembangunan berwawasan budaya adalah pembangunan yang dilaksanakan tidak bertentangan dengan kebudayaan, karena kalau terjadi pertentangan, maka pembangunan akan merugikan masyarakat. Hal ini berarti, pembangunan tersebut dianggap gagal. Dengan demikian, secara normatif, pembangunan mestinya berpijak kepada ide dan kebutuhan masyarakat. Colleta mendefinisikan pembangunan lebih moderat dan umum, yakni sebagai suatu proses perubahan yang “positif“ dalam meningkatkan kualitas dan tingkat keberadaan manusia. Juga diartikan bahwa, pembangunan pada hakekatnya merupakan proses perubahan sosio-ekonomis yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup, kualitas dan martabat manusia (1987: 4-5). Pengertian Colleta ini memberi ingatan kepada kita semua bahwa materi dan tujuan dasar pembangunan adalah kualitas dan martabat manusia.

Untuk memantapkan concern kajian pembangunan, antropologi menempatkan diri melalui pengembangan suatu subdisiplin, yaitu antropologi terapan. bahwa antropologi terapan memanfaatkan disiplin antropologi di luar batas-batas disiplin akademis yang umum untuk memecahkan problem-problem praktis di dalam pembangunan, melalui penyediaan informasi, penciptaan kebijakan atau langsung melakukan suatu aksi (practicing anthropology). Antropologi selain menganalisa fenomena pembangunan, juga langsung praktek menerapkan ilmu di bidang-bidang tertentu pembangunan seperti kesehatan, pendidikan, pembinaan masyarakat dan lain-lain. Dalam konteks ini, antropologi dapat berperan penting dalam pembangunan melalui penelitian terapan dan intervensi. Melalui dua metode ini, antropologi dapat menolong menginformasikan proses pembangunan bagi pemerintah dan juga masyarakat, khususnya dalam aspek kebijakan, dan mengevaluasi dampak atau keputusan suatu kebijakan, dan menjembatani antara pola pikir pemerintah dan budaya masyarakat lokal.

Akhirnya, antropologi terapan berorientasi menggunakan data yang dikumpulkan dari subdisiplin antropologi lainnya, untuk menawarkan solusi praktis bagi masalah-masalah dalam masyarakat akibat proses pembangunan. Tulisan Nursyirwan Effendi tentang suatu fenomena tentang aktivitas masyarakat untuk membangun dan mengembangkan diri yang tidak termasuk di dalam kerangka rancangan pembangunan formal atau kerangka pembangunan yang diciptakan oleh pemerintah. Pembangunan di tengah masyarakat tidak berarti adalah hasil dari kebijakan, tetapi juga di luar kebijakan yang dibuat dan diimplementasikan. Pembangunan juga berarti pelaksanaan perubahan masyarakat melalui usaha mandiri dan tidak ada kaitannya dengan pembangunan yang dirancang oleh pemerintah. Fenomena tentang terdapatnya sejumlah kelompok masyarakat yang secara mandiri mengubah standar, pola hidup dan menciptakan peluang kesejahteraan di luar konteks perjalan pembangunan secara formal, atau mereka membangun diri secara independen dari peran dan campur tangan pemerintah disebut pembangunan setempat atau “on-the-ground development“. Pada konteks ini, antropologi concern dengan fenomena kemasyarakatan yang berkontribusi kepada wacana pembangunan.

Study Case

  1. 1. Terjadinya krisis moneter yang menimpa indonesia dan menjalar pada aspek kehidupan lainnya seperti sosial, budaya dan politik sehingga memicu terjadinya krisis multi dimensional yang berkepanjangan dapat diminamilisir dengan upaya menggerakkan sektor lain. Cerita sukses pada krisis ekonomi tersebut dilakukan melalui aktifitas ekonomi pasar loak ataupun gerakan ekonomi sektor informal lainnya. Melalui pasar Loak misalnya, ditemukan rekontruksi sosial masyarakat lokal yang mengarah kepada kelompok sosial ekonomi menengah ke bawah yang mengkomsumsi barang-barang kelas dua yang diperjualbelikan oleh pedagang loak.

2. Implikasi Undang-undang perkawinan terhadap keluarga dan wanita yang menunjukkan bahwa adanya perbedaan peran yang kaku antara laki-laki dan wanita dalam keluarga sehingga menjadikan wanita tidak berdaya dari segi ekonomi dan wanita selalu tergantung pada laki-laki (suami). Disamping itu ketidakberdayaan wanita secara ekonomi ini seringkali dimanfaatkan oleh laki-laki untuk melakukan poligami. Kasus-kasus perceraian yang terjadi kebanyakan adalah karena adanya orang ketiga dan masalah ekonomi. Sementara itu prosedur yang berbelit-belit dan cenderung memihak laki-laki seringkali menyebabkan wanita enggan mengurus perceraiannya di pengadilan, sehingga banyak terjadi cerai di bawah tangan. Akibatnya wanita yang diceraikan tidak mendapat santunan dan secara hukum tidak jelas statusnya, sedangkan laki-laki dengan mudah akan kawin lagi. Dengan demikian meskipun berdasarkan syarat-syarat yang diberlakukan sulit untuk kawin lagi bagi laki-laki tetapi dengan mudahnya cerai di bawah tangan laki-laki lebih untuk berpoligami secara tidak sah.

3. Hasil penelitian lapangan Edi Indrizal yang dilakukan di sebuah perkampungan tradisional Minangkabau yakni di Balairong Bunta di Kenagarian Rao Rao Kabupaten Tanah Datar Propinsi Sumatera Barat mengenai kerentanan struktural laki-laki lansia dalam masyarakat matrilineal Minangkabau. Topik Antropologi tentang kerentanan orang lanjut usia (lansia), dimana laki-laki lansia lebih jarang dibicarakan dibandingkan perempuan lansia. Hal ini karena laki-laki lansia biasanya dipandang dalam posisi lebih beruntung, lebih kuat, lebih berkuasa, mempunyai harta, memegang hak waris yang lebih besar, memiliki tabungan, memiliki akses ekonomi lebih baik dan sebagainya, sehingga sering dianggap kurang rentan dibandingkan perempuan lansia. Kerentanan laki-laki di usia tuanya cenderung sering dijelaskan menurut kerangka asumsi pendekatan individual atau dengan menggunakan perspektif mentalitas dan representasi budaya yang lebih menekankan analisisnya terhadap saling hubungan antara situasi kerentanan laki-laki lansia dengan pola pencitraan (image), sistem norma dan dominasi ideologi patriarki di dalam masyarakat. Kerentanan laki-laki lansia selalu dihubungkan dengan perubahan status, kedudukan dan sumber-sumber kekuasaan yang berkurang secara drastis yang dialaminya sehingga laki-laki lansia menghadapi suatu situasi yang dinamakan post power syndrom.

4. Pemahaman mengenai tindakan pelecehan dan kekerasan yang dialami oleh pihak perempuan. Perempuan mengalami pelecehan seksual dalam berbagai bentuk, mulai dari penilaian seksi dan kontak fisik (patting dan brushing) sampai pada ajakan yang terang-terangan untuk kesenangan seksual dan pemaksaan untuk berhubungan seks. Banyak alasan yang menyebabkan laki-laki melakukan intimidasi kepada kaum perempuan, di antaranya sebagai alat kontrol terhadap pasangan, laki-laki merasa terancam kedudukannya oleh kaum perempuan terutma di tempat kerja, dan kelainan jiwa yang disebabkan trauma semasa kecil. Selain itu, korban pelecehan dan kekerasan sering menyembunyikan apa yang mereka alami, terutama dari orang tua, suami, anak-anak, dan juga dari masyarakat. Mereka takut orang di luar situasi tersebut menganggap bahwa perilaku tertentu mereka justru merupakan stimulus bagi timbulnya pelecehan dan kekerasan yang mereka alami.

5. Gambaran tentang pengkajian Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang saat ini menjadi perhatian serius pemerintah daerah Sumatera Barat di kepulauan Mentawai untuk meningkatkan harkat dan martabat masyarakat lokal sesuai dengan amanat undang-undang dan tujuan negara Indonesia. Namun dikarenakan berbagai kendala geografis, keterbatasan kemampuan dan karakteristik masyarakat dan komunitas adat terpencil itu sendiri menyebabkan usaha pemberdayaan itu belum mampu menjangkau segenap komunitas tersebut. Melalui pengkajian Komunitas Adat Terpencil tersebut dapat memperbaiki konsistensi kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam di Siberut dan memperhatikan aspirasi masyarakat dan mengkaji ulang (memperbaiki) tata ruang wilayah Siberut berdasarkan partisipasi masyarakat. Realisasi berbagai program pembangunan oleh berbagai pihak (terutama yang pernah menjanjikan dengan masyarakat setempat), untuk dapat mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap agen pembangunan yang dilaksanakan secara partisipasi, transparansi dan akuntabilitas dalam setiap kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program.

Referensi:

Antropologi dan Pembangunan di Masyarakat Lokal. Nursyirwan Effendi, Lucky Zamzami

Jurnal Antropologi Papua (Papuan Journal of Social and Cultural Anthropology).

Critical Ethnography: Method, Ethics, and Performance. D. Soyini Maddison

Handbook of Social and Cultural Anthropology. John Honigmann


® Disampaikan dalam Forum Kajian Khusus Sosiologi (FOKUS), 26 November 2008

®® Alumni jurusan Sosiologi Universitas Trunojoyo 2008-2009

Senin, 08 September 2008


Hierarki Tri Fungsi Mahasiswa,Gerakan dan Keilmuan Sosial
Syaiful Arif

Labelitas mahasiswa tentunya berbeda ruang lingkupnya dengan masa-masa kita menjadi pelajar atau siswa di sekolah dasar ataupun lanjutan, baik dari sisi environment-nya ataupun peranan yang harus dilakukan untuk dapat mengembangkan diri secara maksimal dan memberikan kontribusi yang signifikan kepada almamater dan masyarakat umum. Karena pada tingkat dimana status kita menjadi mahasiswa dengan tri fungsi yang dimiliki yaitu, Agent Of Change, Social Control dan Man Of Analysis dituntut untuk dapat menyelaraskan antara kebutuhan pengembangan diri dengan pemberian sumbangsih kepada lembaga dan masyarakat secara umum di hampir semua aspek kehidupan. Middle Class (kaum intelektual), itulah tingkatan mahasiswa dalam sudut pandang masyarakat sehingga dari sanalah kita mempunyai kewajiban moral untuk dapat berperan serta dalam meretas problematika sosial dan mencari problem solving yang solutif dari masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.
Mahasiswa yang dikategorikan sebagai lapisan intelektual yang memliki tanggung jawab sosial khas yang menurut Shill memiliki lima fungsi yakni:
1. Mencipta dan menyebar kebudayaan tinggi;
2. Menyediakan bagan-bagan nasional antar bangsa;
3. Membina keberdayaan;
4. Mempengaruhi perubahan sosial;
5. Memainkan peran politik.
Sejarah telah membuktikan hal tersebut, mahasiswa membuktikan wujud gerakan meraka dengan pengorganisasian dan perlawanan yang pada awalnya hanya bermula dari kampus ke kampus, para mahasiswa pada akhirnya mampu membangun harmony dengan rakyat dan menjadikan kampus sebagai benteng kebenaran rakyat yang terakhir. Gerakan mahasiswa pada dasarnya merupakan gerakan moral, yang tidak punya fested politik, ataupun kekuatan yang masif untuk masuk dan merebut tatanan politik yang praksis. Sebagai sebuah gerakan moral, kekuatan mahasiswa hanya mampu menjadi pendobrak tanpa mampu memberikan legitimasi kontrol yang kuat dari sebuah proses politik, bahwa kemudian gerakan mahasiswa itu mampu memberi warna itulah yang kemudian tercatat dalam sejarah. Setelah Soeharto 32 tahun menguasai bangsa ini akhirnya dijatuhkan mahasiswa tahun 1998, inilah bukti eksistensi mahasiswa Indonesia. Mahasiswa harus mampu menjawab impian bangsa ini. Torehan warna untuk bangsa ini terwujud dalam suatu gerakan yang kuat, terstruktur, terkoordinasi, yang mampu membangun harmony rakyat dan pemerintah.
Relevansi fungsi mahasiswa di atas dengan keilmuan sosial sangatlah erat. Adalah seorang Karl Mannheim (1893-1947) yang mula-mula seorang guru besar di Universitas Frankfurt-am-main di Jerman. Kemudian pindah, menetap di Inggris dan menjadi guru besar di Universitas London. Kontribusi Mannheim telah banyak pada pengembangan keilmuan Sosiologi. Yang menarik karena dia mempelopori suatu cabang keilmuan Sosiologi yaitu Sosiologi pengetahuan, sebuah cabang keilmuan yang khusus menelaah hubungan antara masyarakat dengan pengetahuan. Kemudian teorinya yang sangat terkenal adalah mengenai krisis. Akar dari segenap pertentangan yang menimbulkan krisis terletak dalam ketegangan-ketegangan yang timbul dalam semua ldinamika kehidupan, karena azas laissez faire berdampingan dengan azas-azas yang baru dalam kehidupan ekonomi. Perimbangan-perimbangan dalam masyarakat berkembang menurut azas yang baru. Dalam hal ini manusia lah yang harus memberi bentuk kepada perimbangan baru tadi. Namun manusia gagal melakukannya. Inilah yang menyebabkan krisis. Menurut Mannheim, yang sangat perlu adalah diadakannya suatu planning for freedom, yaitu perencanaan yang diawasi secara demokratis dan menjamin kemerdekaan aktivitas-aktivitas individu maupun kelompok manusia dalam memperjuangkan hak-haknya, di dalam maupun di luar rangka perimbangan tersebut di atas. Dalam rangka planning for freedom tersebut, Mannheim merintis pembentukan The International Library of Sociology and Social Reconstruction yang bertujuan untuk menelaah (secara ilmiah) persoalan-persoalan ekonomi-sosial dan perencanaan sosial yang merupakan persoalan penting dewasa ini.
Keterhubungan tesis-tesis di atas merupakan bagian penting dari proses awal dalam memahami rentetan diri dan peranan kita dalam komunitas ataupun masyarakat luas. Semoga keniscayaan itu dapat terjadi.®

tri fungsi mahasiswa

Hierarki Tri Fungsi Mahasiswa,Gerakan dan Keilmuan Sosial[I]

Syaiful Arifw

Labelitas mahasiswa tentunya berbeda rung lingkupnya dengan masa-masa kita menjadi pelajar atau siswa di sekolah dasar ataupun lanjutan, baik dari sisi environment-nya ataupun peranan yang harus dilakukan untuk dapat mengembangkan diri secara maksimal dan memberikan kontribusi yang signifikan kepada almamater dan masyarakat umum. Karena pada tingkat dimana status kita menjadi mahasiswa dengan tri fungsi yang dimiliki yaitu, Agent Of Change, Social Control dan Man Of Analysis dituntut untuk dapat menyelaraskan antara kebutuhan pengembangan diri dengan pemberian sumbangsih kepada lembaga dan masyarakat secara umum di hampir semua aspek kehidupan. Middle Class (kaum intelektual), itulah tingkatan mahasiswa dalam sudut pandang masyarakat sehingga dari sanalah kita mempunyai kewajiban moral untuk dapat berperan serta dalam meretas problematika sosial dan mencari problem solving yang solutif dari masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.

Mahasiswa yang dikategorikan sebagai lapisan intelektual yang memliki tanggung jawab sosial khas yang menurut Shill memiliki lima fungsi yakni:

  1. Mencipta dan menyebar kebudayaan tinggi;
  2. Menyediakan bagan-bagan nasional antar bangsa;
  3. Membina keberdayaan;
  4. Mempengaruhi perubahan sosial;
  5. Memainkan peran politik.

Sejarah telah membuktikan hal tersebut, mahasiswa membuktikan wujud gerakan meraka dengan pengorganisasian dan perlawanan yang pada awalnya hanya bermula dari kampus ke kampus, para mahasiswa pada akhirnya mampu membangun harmony dengan rakyat dan menjadikan kampus sebagai benteng kebenaran rakyat yang terakhir. Gerakan mahasiswa pada dasarnya merupakan gerakan moral, yang tidak punya fested politik, ataupun kekuatan yang masif untuk masuk dan merebut tatanan politik yang praksis. Sebagai sebuah gerakan moral, kekuatan mahasiswa hanya mampu menjadi pendobrak tanpa mampu memberikan legitimasi kontrol yang kuat dari sebuah proses politik, bahwa kemudian gerakan mahasiswa itu mampu memberi warna itulah yang kemudian tercatat dalam sejarah. Setelah Soeharto 32 tahun menguasai bangsa ini akhirnya dijatuhkan mahasiswa tahun 1998, inilah bukti eksistensi mahasiswa Indonesia. Mahasiswa harus mampu menjawab impian bangsa ini. Torehan warna untuk bangsa ini terwujud dalam suatu gerakan yang kuat, terstruktur, terkoordinasi, yang mampu membangun harmony rakyat dan pemerintah.

Relevansi fungsi mahasiswa di atas dengan keilmuan sosial sangatlah erat. Adalah seorang Karl Mannheim (1893-1947) yang mula-mula seorang guru besar di Universitas Frankfurt-am-main di Jerman. Kemudian pindah, menetap di Inggris dan menjadi guru besar di Universitas London. Kontribusi Mannheim telah banyak pada pengembangan keilmuan Sosiologi. Yang menarik karena dia mempelopori suatu cabang keilmuan Sosiologi yaitu Sosiologi pengetahuan, sebuah cabang keilmuan yang khusus menelaah hubungan antara masyarakat dengan pengetahuan. Kemudian teorinya yang sangat terkenal adalah mengenai krisis. Akar dari segenap pertentangan yang menimbulkan krisis terletak dalam ketegangan-ketegangan yang timbul dalam semua ldinamika kehidupan, karena azas laissez faire berdampingan dengan azas-azas yang baru dalam kehidupan ekonomi. Perimbangan-perimbangan dalam masyarakat berkembang menurut azas yang baru. Dalam hal ini manusia lah yang harus memberi bentuk kepada perimbangan baru tadi. Namun manusia gagal melakukannya. Inilah yang menyebabkan krisis. Menurut Mannheim, yang sangat perlu adalah diadakannya suatu planning for freedom, yaitu perencanaan yang diawasi secara demokratis dan menjamin kemerdekaan aktivitas-aktivitas individu maupun kelompok manusia dalam memperjuangkan hak-haknya, di dalam maupun di luar rangka perimbangan tersebut di atas. Dalam rangka planning for freedom tersebut, Mannheim merintis pembentukan The International Library of Sociology and Social Reconstruction yang bertujuan untuk menelaah (secara ilmiah) persoalan-persoalan ekonomi-sosial dan perencanaan sosial yang merupakan persoalan penting dewasa ini.[II]

Keterhubungan tesis-tesis di atas merupakan bagian penting dari proses awal dalam memahami rentetan diri dan peranan kita dalam komunitas ataupun masyarakat luas. Semoga keniscayaan itu dapat terjadi.®



[I] Disampaikan pada Orientasi Mahasiswa Jurusan Sosiologi, 30-31 Agustus 2008

w Calon Pengangguran

[II] Lihat di Soerjon Soekanto, Pengantar Sosiologi. Rajawali Press.

Jumat, 05 September 2008

bayu's heart voice

SOSIOLOGI
Simpan senyum dan asa kita disini...
kita bisa...kita mampu
tak ada yang buntu disini,kita pasti ada jalan pulang... kawan
hentikan jengahmu ketika suara suara sengau datang dari mereka tentang kita
mereka tak tau apa yang kita punya
mereka tak pernah miliki apa yang kita miliki
sudahlah...buang jauh jauh bayangan prahara hutan tak berdaun itu
ada jalan terang untuk kita nantinya...teman
kemarilah...
kita saling berjabat erat
mari kita berdiri di atas gedung tertinggi
teriakkan pada dunia....
kita ada untuk Indonesia dan untuk dunia ini
kita mampu lakukan ini
bersama sosiologi....kita bangkit


BAYU
bayu.nata@yahoo.com
05 Agustus 2008

Kamis, 04 September 2008

Posmo

Respon Masyarakat Negara Berkembang thd Globalisasi


Budaya Konsumerisme

Budaya konsumerisme menunjuk kepada suatu budaya ketika konsumsi tidak lagi untuk memenuhi kebutuhan tapi untuk mengekspresikan posisi sosial dan identitas kultural seseorang di dalam masyarakat (definisi ini berlaku pada masyarakat Eropa)
Di Amerika Serikat, istilah budaya konsumerisme digunakan untuk menyebut sebuah perlindungan terhadap hak-hak konsumen
Jean Baudillard dalam bukunya Consumer Society (masyarakat konsumerisme) menegaskan bahwa masyarakat konsumerisme itu berada dalam era kapitalisme mutakhir.
Era ini ditandai dengan adanya konsumsi yg terus-menerus akibat adanya kemajuan ekonomi dan kemakmuran

Gejala Konsumerisme


lBudaya konsumerisme menjadikan obyek konsumsi sebagai alat eksternalisasi dan internalisasi sekaligus
lDalam hal ini konsumen menjadi obyek yang pasif dan bukan kreator.
lBudaya ini sekedar menjadi tanda saja tanpa makna bahkan tuna makna
lMeminjam Rene Descartes (aku berpikir maka aku ada) diubah menjadi aku mengkonsumsi maka aku ada

Masyarakat Skizofrenia

lAdalah istilah yang dikemukakan Jacques Lacan untuk menyebut masyarakat kapitalis dengan gejala banyaknya produk yang ditawarkan dengan cepat dan dikonsumsi dengan cepat pula
lBaudrilard menyebutnya Dromologi proses percepatan sebagai kekuatan utama kapitalisme global

Masyarakat konsumerisme


lAdanya masyarakat konsumerisme telah lama diramalkan oleh Adorno, Horkheimer dkk.
lMereka mengkritisi teori Marx yang hanya berhenti pada konflik antara pemilik faktor produksi dan yang tidak memiliki faktor produksi
lMenurut mereka, Marx telah mengabaikan komoditi yang dihasilkan yang akhirnya mempengaruhi moral masyarakat

Masyarakat Tontonan


lDalam masyarakat kapitalisme mutakhir, tercipta sebuah budaya baru yang disebut budaya tontonan.
lDalam masyarakat kapitalisme, memproduksi komoditi harus disertai dengan memproduksi tontonan
lDalam tontonan, bukan makna yang dicari namun kedangkalan dan ritual menonton itu sendiri

In the Silent of Majorities (Mayoritas Diam)


lMenurut Jean Baudillard, dalam masyarakat kapitalis tontonan menjadi kebutuhan mutlak
lMasyarakat tontonan ini dibentuk oleh massa yang diam, yang hanya mengkonsumsi tanda
lDidalamnya tidak dapat lagi dibedakan antara yang nyata dan tidak nyata, antara realitas dengan hiper-realitas. Yang muncul hanya ketidakbermaknaan
lMuncullah tawaran untuk kembali pada spiritualitas agama


Selasa, 02 September 2008

ospek sosiologi



"OSPEK PRODI SOSIOLOGI - KM FISIB UNIJOYO" berhasil terlaksana di pantai wisata Camplong - Sampang pada tanggal 30-31 Agustus 2008. atas kerjasama yang solid antar panitia jurusan, kegiatan ini dapat terlaksana dengan baik tanpa hambatan dan gangguan yang berarti.
ibu Ekna Satryati. S.Sos. M.Hum sebagai ketua prodi, Moh. Rusdi sebagai ketua HMJ dan R. Septian Bayu Hadinata sebagai Ketua Pelaksana dalam kegiatan ini, serta beberapa struktur panitia yang lain, sangat berperan penting dalam suksesnya acara prodi ini.
kurang lebih 70 mahasiswa baru dari berbagai daerah, dan sekitar 25 panitia, serta beberapa dosen pengajar ikut serta dalam kegiatan tersebut.
pagi, 30 agustus 2008, rombongan diberangkatkan dengan dilepas oleh Dekan FISIB, yakni Bapak H. Amir Hamzah, S.H. M.Hum menuju Camplong-Sampang. sekitar pukul 11.00 WIB rombongan tiba di tempat yang kemudian dilanjutkan dengan istirahat sejenak, setelah itu mahasiswa baru di lepas menuju kediaman Kepala Desa Tambaan - Camplong, dan berikutnya mereka dilatih terjun lapangan untuk melakukan wawancara dengan warga setempat.
malampun tiba, teman teman disuguhi acara renungan malam oleh salah satu panitia, yakni mas R. Timur Budhi Radja. sebagai seniman termuda di Indonesia, ia menyuguhkan acara yang cukup menarik bagi teman-teman maba.
pagi, 31 Agustus 2008. Acara dilanjutkan kembali dengan olahraga pagi, kemudian dilanjutkan dengan outbond yang bertujuan untuk melatih kerjasama dengan masing-masing individu. acara tersebut cukup menarik bagi peserta. kemudian siang sekitar pukul 14.30 WIB, peserta dan panitia dipulangkan menuju kampus dengan dilepas oleh Gubernur FISIB, sdr. Bdi Irawan.

thanks for all.
BAYU

Senin, 01 September 2008

Sistem Politik



Pendekatan Pembangunan Politik di Indonesia
Pembangunan politik


Kajian terhadap proses politik Indonesia dapat dilihat melalui pendekatan pembangunan politik. Pokok permasalahannya adalah bagaimana tuntutan-tuntutan politis mendapatkan penyaluran dan tangggapan. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari kapabilitas sistem politik itu sendiri.
Pendekatan pembangunan politik di Indonesia dipengaruhi oleh kapabilitas sistem politik Indonesia dan pelaku politik (elit politik) Indonesia. Pertama-tama elit politik dihadapkan pada permasalahan yang harus dipecahkan. Pemecahan masalah ini merupakan bagaimana para elit mengambil keputusan. Pengambilan keputusan melalui proses dan sarana penunjangnya, baik yang berupa ilmu, alat, teknolgi dan kelengkapan lainnya guna menunjang kebijakan untuk mencapai tujuan.contoh: kenaikan harga minyak mentah dunia adalah sebuah tantangan dan masalah bagi Indonesia. Bagimana pemerintah menyelesaikannya? Kebijakan yang diambil adalah menaikkan harga BBM (24 Mei 2008). Kenapa demikian, karena kapabilitas ekstraktif Indonesia belum mampu mengolah minyak mentah menjadi BBM. Dengan demikian kebijakan tersebut dipengaruhi oleh kapabilitas ekstraktif, teknologi dan perangkat lainnya.
Relefansi dengan pembangunan politik di Indonesia dapat dilihat pada dinamika politik Indonesia semanjak Indonesia merdeka. Namun demikian, pada umumnya pembangunan politik Indonesia didasarkan pada runtuhnya orde baru dan dimulainya orde reformasi (mei 1998). Pembangunan politik di Indonesia mencakup aspek materiil dan spiritual yang kemudian disebut pembangunan manusia seutuhnya. Dalam pelaksanaan pembangunan ini diperlukan adanya pelaksana (Birokrasi) dan memerlukan waktu. Untuk mewujudkannya diperlukan perencanaan pembangunan jangka pendek, menengah dan jangka panjang.
Masyarakat merupakan unsur terpenting dalam proses politik. Masyarakat Indonesia bersifat heterogen. Tipe masyarakat demikian melahirkan tipe budaya politik yang beraneka ragam. Keanekaragaman ini secara antropologis akan melahirkan berbagai diferensiasi kepentingan yang mengarah pada disintegrasi. Dengan demikian disintegrasi merupakan tantangan tersendiri bagi sistem politik Indonesia.
Pada umumnya permasalahan pada masyarakat Negara dunia ketiga adalah seputar masalah loyalitas. Kondisi demikian melahirkan dilemma pelaksanaan pembangunan politik kemasyarakatan itu sendiri. Apakah dilaksanakan dengan mobilisasi atau partisipasi atau dengan jalan titik tengah diantara keduanya.
Mobilisasi politik seperti pada masa orde lama, akan mengarah pada pemerintahan yang totaliter. Pada prakteknya kekuasaan sepenuhnya ada ditangan presiden dengan demokrasi terpimpinnya. Sedangkan model lain adalah demokrasi pancasila sebagai representasi model pembangunan yang bersifat partisipatif. Muncul kemudian model kontemporer pasca demokrasi pancasila (orde baru) yaitu orde reformasi. Secara teoritis model keduanya hamper sama, akan tetapi pada masa reformasi kebebasan politis benar-benar mendapat tekanan dari masyarakat.
Terdapat dua aspek demokrasi, yaitu aspek materiil dan aspek formal. Aspek materiil mencakup mekanisme actual pemerintahan. Sedangkan dalam aspek formal mencakup ideology, cara hidup demokrasi itu sendiri. Keterllibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan, pemilihan umum, sistem kepartaian dan system pemilihan umum merupakan wujud pembangunan politik masyarakat yang dinilai paling demokratis dalam sejarah politik Indonesia.
Sebagaimana dijelaskan diatas, heterogenitas masyarakat akan melahirkan perbedaan kepentingan. Dengan demikian diperlukan agregasi kepentingan. Menurut Almond dan Bingham terdapat beberapa jenis agregasi kepentingan, yaitu:

Model tawaran Pragmatik, model ini umumya dipakai di Amerika serikat, inggris. Jenis-jenis kepentingan dalam model ini sangat terbuka akan tetapi dibatasi oleh dengan sejumlah kebijakan pemerintah dalam bentuk program politik
Model Pengejaran Nilai Absolut, terlihat didalamnya penolakan akan integrasi atas prinsip-prinsip kebijaksanaan. Pada umumnya proses penyelesaian masalah dalam model ini didasarkan pada logika semata. Model ini seringkali didasari oleh ideologi. Misalnya komunisme, fasisme dll.
Model Tradisonalistik, alternative kebijakan untuk masa datang selalu disandarkan kepada pola masa lampau. Pola-pola yang terbangun pada masa lampau selalu enjadi pertimbangan dan sumber penetapan kebijakan. Model demikian biasanya terjadi dalam masyarakat yang terikat oleh pola sosial-ekonomi kebudayaan tradisional.
Dalam perspektif lokal Indonesia, agregasi kepentingan diwarnai oleh ketiganya. System kepartaian merupakan model pragmatic, sedangkan nilai-nilai normative dan idealisme masih tertanam sehingga melahirkan nilai-nilai absolute dan pada kenyataannya nilai-nilai tradisonal masih mewarnai proses politik di Indonesia[1].

Reformasi Politik: Menuju pemerintahan yang lebih baik
Reformasi politik merupakan penataan ulang sebuah sistem politik dalam sebuah negara. Dalam kontek Indonesia reformasi merupakan salah satu agenda demokratisasi yang selama ini dikungkung oleh rezim orde baru. Huntington menyebutnya sebagai ”gelombang ketiga”. Reformasi dibutuhkan untuk membentuk pemerintahan dan negara yang lebih baik.
Reformasi membutuhkan prasyarat yang komprehensif dan pengawasan yang ketat. Karena reformasi merupakan pembebasan kehendak masyarakat yang selama ini dibelenggu. Kondisi demikian sangat rentan akan konflik politis bahkan mengarah pada revolusi sosial. Reformasi di Indonesia ditandai dengan berakhrinya pemerintahan Orde Baru yang berusaha mewujudkan demokrasi dalam pemerintahan. Di Indonesia redemokratisasi pasca pemerintahan orde baru merupakan kompleksitas dari sekian teori demokratisasi terutama demokratisasi modern yang justru memulai prosesnya dengan perpecahan. Cara ini banyak bentuknya namun paling banyak adalah melalui kejatuhan (collapse) rezim otoriter sebelumnya. Setidaknya proses redemokratisasi diIndonesia pasca orde baru melalui perpaduan dari tiga kompleksitas demokratisasi masyarakat modern. Pertama runtuhnya ( collapse ) rezim otoriter sebagai akibat dari kalah perang. Kedua Extrication yaitu ketika rezim otoriter tiba tiba kehilangan legitimasi dan segera menyerahkan kekuasaan kepada kelompok oposisi yang demokratis. Ketiga adalah melalui kudeta oleh sekelompok elit dalam militer atau polisi[2].
Konsep reformasi yang diajukan dalam rangka pembangunan politik berbasis kerakyatan sudah sepatutnya merupakan representasi dari tuntutan masyarakat selama ini. Gaffar merumuskan beberapa langkah reformasi untuk Indonesia. Diantaranya; Pembatasan masa jabatan presiden, Kesetaraan diantara lembaga tinggi negara, rekruitmen politik yan gterbuka, desentralisasi dalam penytelenggaraan pemerintahan daerah, Implementasi HAM dengan lebih jelas dan konkrit[3].

Civil Society: Sebuah ending dari reformasi
Istilah Civil Society menurut Christopher Briyant dapat dipahami sebagai kondisi masyarakat yang berperadaban (civility). Pada perkembangannya, civil society merupakan situasi yang menggambarkan hubungan Masyarakat dengan Negara. Diantara masyarakat – negara tersebut terdapat ruang yang berisi asosiasi warga masyarakat yang bersifat suka rela dan terintegrasi dalam jaringan hubungan yang didasarkan pada toleransi dan sikap saling menghargai. Ikatan tersebut disatukan oleh kesamaan ideology, persekutuan, ikatan profesi dll. Civil society sebagai gambaran independensi masyarakat dari negara dalam sebuah hubungan mempunyai komponen tertentu sebagai syarat adanya civil society. Komponen tersebut adalah:
1. Otonomi: dimaksudkan civil society adalah masyarakat yang otonom, terlepas dari pengaruh negara baik dibidang ekonomi, politik ataupun bidang sosial. Kondisi demikian bisa terwujud apabila terdapat keswasembadaaan dalam masyarakat. Dengan kata lain masyarakat yang mandiri yang terlepas dari intervensi negara.
2. Akses masyarakat terhadap lembaga negara, setiap warga negara baik secara individu maupun kelompok mempunyai akses kepada lembaga negara dalam kapasitas sebagai partisipan politik.
3. Arena publik yang otonom, merupakan tempat dimana warga negara mengembangkan diri secara maksimal dalam berbagai aspek kehidupan, ekonomi ataupun bidang lainnya. berbagai macam organisasi politik dan sosial secara mandiri mengatur diri sendiri. Artinya antara masyrakat – negara harus saling memberikan pengakuan atas otoritas masing-masing.
4. Arena Publik yang terbuka, arena publik yang terbuka dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat. Tidak dilaksanakan secara eksklusif, rahasia, dan setting yang bersifat korporatif. Masyarakat dapat mengetahui apa yang terjadi disekitar kehidupannya[4].
Indonesia merupakan negara dengan tingkat pluralitas yang sangat tinggi. Begitu juga dengan fragmentasi sosialnya. Karakteristik civil society sebagaimana diatas masih sangat minim dijumpai di Indonesia. Civil Society mensyaratkan adanya kemandirian bagi organisasi sosial politik. Di Indonesia masih sangat rendah, partai Politik misalnya PKB masih sangat tergantung pada NU, Golkar sangat bergantung pada Dewan pembinan, dewan pertimbangan dan penasehat.
Lebih dari itu, organisasi yang seharusnya merepresentasikan kemandirian, tidak jarang kita jumpai sangat bergantung pada golongan tertentu. Organisasi ekonomi ataupun organisasi sosial juga sangat bergantung pada golongan tertentu. Misalnya Gapensi di Bangkalan masih sangat bergantung pada birokrasi dan elit masyarakat. Organisasi yang mempunyai Kemandirian di Indonesia jumlahnya masih sangat terbatas. Misalnya; media massa meskipun masih menghadapi berbagai kendala.
Selain kemandirian, civil society mensyaratkan adanya ruang Publik yang dapat menampung aktivitas masyarakat. Dengan ini diharapkan seluruh masyarakat menpunyai akses yang luas kepada wilayah publik tanpa adanya dominasi dan intervensi dari negara. Namun, realitanya kehadiran Negara masih mendominasi ruang publik di Indonesia. Dalam bidang ekonomi, negara hadir dengan BUMNnya, yang justru menjadi lahan basah bagi birokrasi pemerintahan.
Selain faktor dominasi negara, kekuasaan yang tak terkontrol, lemahnya civil society di Indonesia juga dipengaruhi rendahnya kapasitas masyarakat untuk mewujudkannya. Berbagai kasus politis dan sosial sringkali merepresentasikan rendahnya kapasitas masyarakat dalam mewujudkan civil society. Misalnya, rendahnya tingat partisipasi politik[5].

[1] Rusadi Kanta,., 174-184
[2] Khoirul Rosyadi , Materi Kuliah Civil society
[3] Affan Gaffar, h. 163-172
[4] Ibid., h. 177 - 184
[5] Ibid., 186 - 196

Makanan Madura


Masakan Madura: citra kedaerahan


Madura merupakan bagian integral Indonesia. Sebagaimana daerah lain pada umumnya, hampir dapat dipastikan mempunyai ciri khas kedaerahan yang merepresentasikan kepribadian masyarakat. Ciri khusus inilah yang akan menjadi identitas dalam proses internalisasi dan eksternalisasi sosial. Spesifikasi kedaerahan ini didasarkan pada banyak hal, mulai dari pakaian adat, masakan, kesenian dll, yang kesemuanya merupakan simbol kultural suatu masyarakat.
Berbicara masakan Madura terdapat beberapa hal yang cukup menarik untuk diperbincangkan diantaranya masalah eksistensi dan internalisasi didalam masyarakat Madura itu sendiri. Saya teringat akan respon teman saya berkaitan dengan masakan khas Madura, kata-kata pertama yang keluar adalah Nasi jagung, lebih Asin, Pedas dan sedikit kuah entah apakah ini melambangkan kegersangan Madura secara ekologis. Rasa Asin tentunya melibatkan garam dan kandungannya. Secara medis kandungan garam merupakan salah satu sumber energi, untuk mengembalikan kesegaran tubuh dan mengganti mineral-mineral yang keluar bersama keringat dari tubuh selama proses metabolisme atau aktivitas olah raga yang berat. umumnya produk-produk minuman kesehatan selain mengandung pemanis dan zat aktif, juga mengandung mineral-mineral dalam bentuk ion seperti ion natrium (na+), kalium (k+), magnesium (mg++), kalsium (ca++), karbonat - bikarbonat (co3 2- dan hco3 2-), dan klorida (cl-).sumber utama untuk ion natrium dan klorida selain kristal garam juga larutan garam pekat. dengan demikian tidak mengherankan apabila masyarakat pulau garam ini dikenal sebagai masyarakat yang kuat dan energik. Bahkan kekuatannya menumbuhkan mitos-mitos seksual yang dilekatkan pada masyarakat Madura. promo!!!!
Selain itu terdapat spesifikasi Masakan Madura yang merepresentasikan kepribadian masyarakatnya. Selain Asin masyarakat Madura relatif suka rasa yang pedas. Filosofinya, Pedas merepresentasikan kepribadian yang keras, tegas, pekerja keras, pantang menyerah. Terutama dalam kontek ekonomi masyarakat Madura dikenal ulet, gigih, ekspansif. Bisa jadi karakter demikian terbentuk dan dicitrakan dalam ciri khas masakan Madura.
Terlepas dari spesifikasi-spesifikasi tersebut, ciri khas kedaerahan merupakan aset cultural yang harus dilestarikan eksistensinya, termasuk masakan Madura. Globalisasi multidimensi saat ini mengaburkan batasan-batasan kekayaan kedaerahan. Yang ada hanyalah homogenitas, bagaimana Mc Donald dan berbagai jenis masakan instant menggeser budaya adhi luhung suatu bangsa. Baudilard memandang konsumsi tidak sekedar memenuhi kebutuhan biologis untuk bertahan hidup, melainkan lebih pada pencintraan diri. Komoditas dibeli sebagai gaya ekspresi, prestise, kemewahan serta kekuasaan dll. Imperialisme kultural ini harus di antisipasi untuk mempertahankan ciri khas masakan Madura dari gerusan kapitalisme global.
Masakan Madura ini harus kita pahami terutama generasi saat ini, sebagai Super-organic karya turun temurun yang harus dijaga eksistensinya. Tentunya hal ini merupakan tanggung jawab bersama antara generasi tua dan generasi muda. langkah pertama adalah dengan sosialisasi dalam keluarga tentang masakan Madura itu sendiri. Internalisasi yang sudah tertanam kemudian dipertahankan melalui pendidikan. Bukan berarti melalui kursus masakan Madura lhoooo.
Pendidikan ini berfungsi menanamkan pemahaman cultural yang dapat menstimulus fanatisme akan masakan Madura. Fanatisme jangan dikonotasikan negatif, akan tetapi lebih pada cinta akan masakan Madura. Cukup lengkap apabila dirangkai dengan terwujudnya warung-warung yang menyediakan masakan khas Madura. selain sebagai sarana ekonomi, warung juga dapat menjadi sarana pendidkan cultural. Ingin tahu lebih jauh tentang cultur masayarakat Madura termasuk berbagai pencintraannya, bergabung saja dengan Sosiologi Unijoyo yang menawarkan kompetensi lokal yang me-nasional bahkan meng-internasional.